Senin, 08 Agustus 2016

Kecanduan Dipijat Enak Sih Soalnya Part 3


Tanpa aku sadari, peristiwa yang terjadi kedua kalinya dengan P. Siraj itu memjbawa perubahan 180 derajat dalam diriku. Jika sebelumnya aku merasa sangat berdosa karena telah mengkhianati suamiku, maka setelah peristiwa itu aku justru tidak merasakan apa-apa, hatiku terasa tawar saja, tidak ada lagi rasa berdosa yang menghantui. Lebih parah lagi, aku jadi tidak bisa melayani suamiku dengan baik layaknya seorang istri, aku hanya bisa berpura-pura, tapi sama sekali tak bisa menikmati. Akhirnya aku sendiri menjadi sangat tersiksa.

Sebaliknya kenanganku bersama P. Siraj seperti menyedot pikiranku. Hampir tiap hari setelah peristiwa itu, aku tak pernah bisa berhenti memikirkan dia. Bukan fisiknya yang terpateri dalam pikiranku, melainkan sentuhan-sentuhannya yang mampu mengantarku ke awang-awang. Kadang-kadang juga teringat aku akan fisiknya yang reot, keriput, dan sama sekali jauh dari menarik,. Kalau teringat itu suasana hatiku langsung sirna. Tetapi yang lebih sering adalah memori sentuhan-sentuhannya yang membuatku melayang-layang. Hampir saban hari pikiranku tak pernah berhenti mengingat itu sekalipun aku telah berusaha keras mengenyahkannya dengan menyibukkan diriku pada pekerjaan dan aktifitas yang lain-lain. Entah mengapa belakangan aku jadi mengharapkan kehadirannya. Tidak ada rasa takut lagi ketika telpon rumahku berdering-dering, aku malah mengharapkan yang menelpon itu dia, Pak Siraj. Tetapi harapanku ternyata tak terkabulka, P. Siraj sama sekali belum menelponku semenjak peristiwa itu.

Pada suatu pagi kira-kira 2 minggu bers***** setelah peristiwa yang ke-2 itu, ketika di rumahku sedang sepi karena suamiku sedang pergi ke luar pulau dan pembantuku pun sedang pulang kampung karena ada kerabatnya yang punya hajatan, telpon rumahku berbunyi. Dengan agak enggan aku mengangkat g****g telpon? dan tak kunyana terdengarlah suara yang ternyata sangat tak asing lagi di telingaku dari seberang?

"Hallo?Jeng Sari..?" Telingaku langsung akrab dengan pemilik suara di seberang itu?Ya ampun itu suara Pak Siraj. Langsung gemetar tubuhku mendengar suaranya itu.
"I..i..iya.. maaf dengan siapa?" tanyaku pura-pura tak tahu. Suaraku entah kenapa tiba-tiba berubah bergetar. Rasa takut, cemas, meriang, sekaligus senang tiba-tiba melingkupi hatiku.
"Siraj, jeng. Siraj?" suara itu terdengar serak.
"Eh..oh?i..iya Pak, ada apa Pak??" tanyaku gemetar. Benakku tiba-tiba dipenuhi oleh sensasi-sensasi yang tak kupahami, membuatku tubuhku serta-merta gemetar dan bergidik.
"Jeng Sari kok tidak terapi lagi, padahal saya hampir tiap hari ke rumah Bapak, tapi Jeng Sari tidak pernah ke sana. kapan Jeng Sari bisa saya terapi lagi?" Aku makin gemetar mendengar pertanyaannya, dan aku tidak tahu mesti menjawab apa. Tapi yang keluar dari mulutku sungguh aku sendiri tak menduganya?
"Kira-kira kapan Bapak bisa?"
"Kalau hari ini atau nanti sore gimana Jeng?" Lagi-lagi mulutku terasa kelu tak tahu mesti ngomong apa.
"E..e? dimana pak?" Bodoh! Kenapa aku bisa balik bertanya seperti itu! Aku sungguh tak paham lagi keadaan diriku..
"Anu Jeng, kalau di rumah Bapaknya Jeng Sari hari ini lagi rame orang, banyak yang rapat. bagaimana kalau di rumah Jeng Sari aja?" Aduh bagaimana dia bisa menebak kalau hari ini di rumahku sedang tidak ada orang, jangan-jangan????
"Eh..anu.. terserah Bapak saja??!!??" Plas? aku sendiri bingung dengan jawabanku saat itu. Malu, takut, tapi anehnya sama sekali tak ada perasaan bersalah dalam diriku. Bahkan sebaliknya, hatiku merasa berdebar-debar, berbunga-bunga?

Sore itu dengan hati berdebar-debar aku menanti kedatangan P. Siraj ke rumahku. Entah mengapa selama masa menunggu itu aku merasa diliputi suatu perasaan erotik yang kuat yang tak kupahami. Entah mengapa, dalam benakku kembali terlintas cumbuan-cumbuan P. Siraj atas tubuhku. Dan makin lama aku memikirkan itu tubuhku merasa merinding, gemetar serta sensitif. Tak kunyana, hanya dengan mengingat itu saja tubuhku terasa gerah, seperti ada semacam tuntutan yang lebih lagi, membuat aku merasa kurang nyaman dengan baju yang melekat di tubuhku, aku merasa risih, aku merasa ingin sekali menanggalkannya, hingga akhirnya satu persatu jari-jariku seperti tertuntun untuk melepaskan daster pendekku yang tipis. Hingga terbukalah sudah tubuhku. Tapi aku merasa ada yang kurang, kedua payudaraku terasa geli dan gatal, dan aku merasakan ketegangan pada putting susuku, maka penutup dadaku itupun lepaslah sudah, dan nampaklah ketegangan nyata kedua putingku dari balik cermin, merah tua? tegak? dan kumerasa nyeri bila tersentuh jariku sendiri? Kini tinggal secarik kain tipis berwarna putih yang masih tersisa pada tubuhku, sedangkan saat itu tubuhku seperti menuntut lebih lagi, aku merasa ada yang megap-megap di bawahku meminta di sentuh juga, sehingga terlepaslah penutup terakhir itu meluncur melewati kedua pahaku, lututku, lalu?betisku, ketika aku menyentuhnya kurasakan sesuatu yang telah licin melumasi permukaannya.

Kini tinggalah aku sendiri, di dalam kamarku, telanjang sama sekali, diamuk gejolak yang tak mampu kutolak, sehingga terjadilah apa yang tak pernah kulakukan sepanjang hidupku!!! Aku menyentuh dan merabai sejengkal demi sejengkal setiap bagian tubuhku yang menerbitkan geli, yang sensitif ketika kusentuh, yang menegang ketika kusenggol, yang membasah ketika kuraba? Ah? ah? ah? serasa tubuhku semakin geli dari detik ke detik, dan rangsang yang liar seperti mengurungku dalam berahi yang makin tak kumengerti, aku mengerang-erang sendiri, menggeliat-geliat sendiri. Sungguh suatu perbuatan yang tidak pernah kulakukan seumur hidupku bahkan ketika aku menginjak remaja dulu. Tapi kini, gairah yang mengurungku seperti mengalahkan segalanya, memadamkan rasa maluku, dan sebaliknya seperti mengobarkan gairah-gairah aneh dalam tubuhku. Oh? aku merasakan tubuhku melayang-layang ke awang-awang seiring dengan semakin banyaknya cairan yang membersit-bersit dari pori-pori tubuhku. Aku merasa bapak tua itu seakan-akan sedang menyentuhi jengkal demi jengkal bagian-bagian tubuhku yang peka? membuatku tak kuasa untuk tak merintih, mengerang?

Akhirnya entah sudah berapa lama aku melakukan itu, sehingga tanpa kusadari sore sudah beranjak malam, cuaca yang berubah gelap tampak jelas dari jendela kamarku. Tapi yang kunanti tak kunjung datang. Aku merasa perlu menyalakan lampu karena aku tak pernah merasa nyaman dalam kegelapan. Setelah kamarku terang perasaanku berubah timbul tenggelam antara kenangan dan kenyataan, yang membuat pikiranku terpecah. Apalagi selama melakukan kegiatan yang aneh itu posisiku dalam keadaan berdiri di depan cermin besar yang terpasang dalam kamarku, membuatku merasa letih, sehingga, membuatku merasa perlu berbaring karena kurasakan pendakianku sudah dekat pada puncak? Aku merasakan pahaku telah basah oleh cairan yang menderas dari sumbernya, dan semakin intens aku menyentuhnya, merabanya, menekannya, tubuhku semakin menggeletar tanpa kendali?mendekati berakhirnya pendakian yang melelahkan? tetapi?

TING-TONG!!! TING-TONG!!! Tiba-tiba kudengar bunyi bel memecah kesunyian, memecah saat-saat indah yang hampir tiba. Oh! pasti dia! tak salah lagi, pasti dia! Dengan tergopoh-gopoh kukenakan lagi dasterku. Seperti tergesa oleh sesuatu, aku tak berpikir lagi untuk mengenakan dalamanku yang lainnya. Tak apa, pikirku, bukankah diluar cuaca sudah gelap, tak apa kalau aku hanya mengenakan ini saja?

Benar saja! Aku melihat sosok tua itu sedang berdiri menunggu di depan pintu gerbang rumahku. Dalam keremangan malam masih nampak jelas olehku kacamata tebalnya, pakaian khasnya, safari biru tua, bersarung kotak-kotak warna hitam, dan kopiah yang selalu bertengger di kepalanya menutupi sebagian rambut putihnya. Di sampingnya motor bebek tua yang lampunya masih menyala.

Dengan berdebar aku m*****kah ke luar rumah hanya dengan daster yang tipis dan pendek melekat pada tubuhku. Untunglah aku belum menyalakan lampu teras maupun rumah, sehingga tak mungkin Pak tua yang agak rabun itu mampu menebak isi di dalam busana yang kupakai saat itu. Tetapi?Ya ampuunn? lelaki tua ini melihatku dengan saksama ketika aku mendekati pintu pagar, pandangannya itu seperti langsung menembus pakaianku, menembusi juga relung-relung hatiku. Dengan gemetar aku membukakan kunci gembok untuknya dan membiarkannya masuk sambil menuntun motor tuanya. Ketika aku menutup pintu gerbang rumahku dan akan mengunci gembok, tiba-tiba kurasakan remasan yang nakal pada pantatku. Aku kaget setengah mati, aku berusaha menepiskannya. Tetapi sungguh tak kunyana, tangannya yang nakal itu tiba-tiba menyelusup ke dalam dasterku bagian bawah dan langsung meremas bokongku dari dalam. Ah.. ah? aku berusaha sekuatnya menepiskan tangannya yang nakal dan tak sabar itu, tetapi tangan pak tua itu memaksa tetap tinggal dalam dasterku dan terus meremas pantatku. Ah? ah? aku semakin gemetar dibuatnya. Ini masih di luar rumah dia sudah begini nakalnya, aku takut ada orang lain atau tetanggaku memergoki perbuatan kami, jadi aku berusaha menepiskannya sekuatku. Tetapi muncul perasaan aneh yang lebih kuat membiarkan pak tua itu menakali diriku. Rasa takut, rasa malu, yang berbaur dengan sensasi-sensasi aneh ternyata membuat diriku semakin gejolak dalam diriku semakin meninggi, bahkan lebih tinggi daripada ketika aku melakukannya sendirian tadi.

Sebaliknya yang kurasakan pada P. Siraj, dia semakin menggila mengetahui aku tak mengenakan dalaman, tangannya mulai beringsut ke sana kemari, dan celakanya gejolakku yang menguat malah membuatku membiarkan saja tindakan nakalnya itu. Dari bokongku tangannya beralih merabai s*****kanganku yang sudah membasah akibat cumbuannya. Jemarinya itu? aduh? seperti bermata saja layaknya sehingga langsung menemukan pusat syarafku yang paling peka yang sudah tak tertutup apa-apa, dan menggelitik-gelitik di sana. Adduuuhh? tubuhku memberikan respons berupa geletar-geletar tak terkendali, dan kurasakan pak Siraj semakin meningkatkan cumbuannya pada s*****kanganku. Bukan itu saja, tubuhnya yang berat kuarasakaan memepetku pada pintu pagar sehingga aku hanya bisa bertumpu pada jeruji pintu pagar dan tanganku hanya bisa berpegangan erat-erat di sana. kendaraan yang sesekali melintas di depan rumahku bukannya membuat gejolakku surut, tetapi sebaliknya, aku merasakan adrenalinku semakin terpompa kuat-kuat, sehingga akhirnya aku harus menyerah bulat-bulat pada cumbuan pak tua ini.

Jemari-jemari pak tua ini semakin intens merabai, menyentuhi, menekan, area s*****kanganku, dan yang lebih parah lagi seperti kurasakan menggenthel kelenjar syarafku yang paling peka, sehingga mau tak mau sesekali kurasakan juga denyutan-denyutan yang membersitkan kebasahan dari dalam rongga kewanitaanku mulai muncul. Makin lama aku merasakan denyutan-denyutan itu makin sering, dan makin kontinyu? aduhh? tiba-tiba aku merasa sebentar lagi kenikmatan itu akan melandaku seiring makin gencarnya cumbuan lelaki tua ini pada genitalku yang terpeka.
Aduhh? aku merasakan sesuatu yang kasar dan panas tiba-tiba terbenam dalam tubuhku, mungkin cuma satu, tapi begitu liar menekan, menusuk, dan berputar-putar dalam tubuhku, membuatku kelojotan. Ya ampun? Tuhann? aku sungguh-sungguh sudah tak kuat lagi? genitalku sudah tak mampu lagi menerima rangsang yang sedemikian liar dan kontinyu. Panggulku sudah makin kuat berkedut, dan kewanitaanku sudah terus berdenyut, makin kuat, makin kuat?serasa menahan bergalon-galon cairan yang telah siap termuntahkan. Dan?. ahhh?. akhirnya tiba juga?jiwaku serasa terbang, tubuhku melorot berkelojotan, ya? ampunn?tiba-tiba aku merasa cairan dari dalam tubuhku tumpah begitu saja, seperti air bah menerjang bendungan rapuh? serasa bergalon-galon?mengalir?menerjang-nerjang dinding rahimku yang terus berkedutan? ampuuunnn??.Tuhann? ini? ahhh? nikmat sekali?. aku terus melorot, hingga jatuh terduduk di atas lantai paving halaman rumahku? memalukan sekali?

Baru sekali ini, baru sekali ini, Pak Siraj mengerti bahwa saat itu aku sudah mencapai kelimaks, sehingga ia membiarkanku terduduk menggelesot di lantai. Ia tak menyentuhku, seakan ingin membiarkanku beristirahat sejenak. Walaupun begitu ia masih saja bertanya padaku apakah aku sudah keluar? Tentu saja pertanyaannya itu hanya makin membuatku malu, aku hanya bisa menunduk. Masih kurang puas saja dengan kediamanku, dia mengulangi lagi pertanyaannya itu sehingga akhirnya dengan perasaan sangat malu, aku mengangguk, barulah ia mengerti. Celakanya lagi ia masih saja bertanya apakah aku merasa enak atau nikmat? Ohh, pak tua-pak tua? kalau saja ia tahu apa yang baru saja kualami tentu ia tak akan bertanya seperti itu. Tapi lagi-lagi aku ternyata mengangguk, hilang sudah rasanya mukaku saat itu.

Setelah sekian detik berlalu, pak Siraj menarik tanganku agar aku berdiri. Sebisa mungkin aku berdiri walaupun agak sempoyongan. Ia menuntunku masuk ke dalam rumahku seperti sedang menuntun makhluk yang rapuh?
Lampu rumah yang belum kunyalakan emmbuatku merasa kurang nyaman sehingga tanpa kusadari aku menekan saklar, maka terang-benderanglah ruangan dalam ruang tamuku. Aku tak menyadari bahwa itu aku kembali memicu aksi liar Pak Siraj. Dasterku yang transparan membuat jakun pak tua ini turun naik, dan sebelum aku menyadarinya tiba-tiba ia sudah memelukku erat-erat, tangannya dengan liar dan ganas meremas-remas buah dadaku yang putingnya tercetak jelas? Tubuhku yang masih lemas tak mampu memberikan respons yang memadai, sehingga pak tua ini begitu leluasa menguasai tubuhku. Dalam keadaan yang masih lemas dan letih serta belum mampu merespons apa yang akan terjadi selanjutnya, terbelalak mataku memandang sarung lelaki tua ini menggunung seperti terdesak sesuatu. Saat itu tahulah aku, bahwa Pak Siraj ternyata tidak lagi mengenakan pakaian dalam, ia telah telah begitu terangsang dan ingin segera mencumbuku kembali. Beberapa kali bahkan aku merasa tonjolannya menyenggol paha dan perutku. Celakanya aku sudah tak berdaya saat itu untuk sekedar menghindar dari hadapannya. Lalu tiba-tiba saja dengan beringas ditariknya dasterku ke atas, melewati kepalaku, dan?lepas?

Ohhh?Tuhann? aku telanjang lagi sekarang?. di hadapan pak tua yang sesungguhnya lebih pantas menjadi kakekku? Lebih terkejut lagi aku manakala ia tiba-tiba melapaskan sarungnya sehingga bisa kulihat dengan jelas?.
P. Siraj mulai menarikku ke sofa ruang tamu dan memberangkinku di sana. Tuhann?maafkan aku jika ia menginginkanku lebih dari sekedar bercumbu.

Dalam ketelanjanganku, di luar dugaanku tiba-tiba aku merasakan sensasi-sensasi yang memompa hasratku yang telah padam. Aku merasa sexy sekali dalam keadaan seperti ini dipelototi oleh pak tua ini, dan diraba-raba, disentuh-sentuh sesukanya, dan berkali-kali aku merasakan tonjolannya yang sudah terbebas itu bergesekan dengan pahaku yang sudah terbuka. Tetapi rupa-rupanya dia belum berminat untuk menggagahiku, sekalipun dia tahu bahwa saat itu aku sudah dalam keadaan lemah dan tak mampu lagi melawan. Ia masih ingin pergulatan ini tidak berakhir sekejap nampaknya, sehingga dengan liar diraihnya salah satu payudaraku dan dihisapnya dengan kuat dalam mulutnya yang berbau tembakau, aku hanya bisa memejamkan mata, merintih, dan menceracau? Kalau bisa saat itu aku ingin bisa melawan gejolak yang mulai mengharubiru seluruh tubuhku. Tapi sayang aku tak mampu dan merasakan sebaliknya. Seperti seorang bayi yang kehausan Pak Siraj menetek pada putting payudaraku berganti-ganti kiri-kanan, kiri-kanan. Diperlakukan seperti itu sedikit demi sedikit gejolak jiwaku bangkit, semakin kuat, dan semakin meninggi. Aku benar-benar tak bisa menhan gejolak ini lantaran area payudaraku adalah salah satu bagian genitalku yang sensitif, yang bila disentuh secara kontinyu akan menimbulkan gairah yang teramat nikmat. Dan lelaki tua yang bersamaku saat ini seperti tak pernah puas-puasnya menggeluti payudaraku silih-berganti membuatku serasa melayang-layang. Entah sudah berapa lama ia menetek di situ dan meninggalkan bekas-bekas merah pada kulit buah dadaku. Duhh, dalam hatiku membatin bagaimana jika suamiku tahu bercak-bercak ini? Tetapi sebelum sempat pikiranku m*****lang buana dan dipenuhi rasa bersalah, kurasakan tubuh tua ini merangsek turun sembari kepalanya terus saja mencucupi payudaraku, tangannya kadang menggantikan meremasnya, mulutnya yang keriput itu kulihat turun menyusuri dadaku, lalu turun ke perut, menjilat-jilat pusarku beberapa saat sehingga membuatku menjerit-jerit kegelian, lalu menyusur turun lagi, dan turun lagi melewati bagian bawah perutku yang selalu kurawat dan kucukur sehingga tak nampak sehelai bulu pun di sana, dan terus saja sambil mencucup-cucup di sekitar itu. Sesaat ada perasaan bersalah menyeruak di benakku, tetapi hanya sesaat. Bibir pak tua itu begitu cepat melenakan rasa bersalahku, dan kurasakan betapa lidahnya yang panas secara perlahan menyentuh kelopak kewanitaanku, membelahnya, dan menggeseknya tepat di atas kelenjarku yang paling peka. Aku kaget, aku serasa tersengat, aku merintih, meronta, dan mengerang tanpa rasa malu lagi ketika kurasakan lidah pak tua ini beberapa kali mengusap tepat pada kelenjarku, makin lama makin cepat sehingga membuatku lupa diri. Aku melihat kepala berambut putih itu bergerak-gerak di bawahku, kepalanya agak terbenam di antara kedua pahaku. Segera kujambak rambutnya hingga terjatuh kopiahnya, tetapi kepala pak tua itu masih setia bertengger di antara s*****kanganku yang terbuka lebar, lidahnya terus mencecar pertahanan terakhirku. Lama-lama aku tak lagi menjambaknya seiring kelezatan yang membuncah di dalam tubuhku, aku malah menekan dalam-dalam kepala tua itu ke s*****kanganku, menambah kuatnya rasa sedap yang menyengati diriku. Bisa kurasakan betapa bibir pak tua ini berulangkali mencucup kelenjarku, menyedotnya kedalam mulutnya, mengunci kelenjarku di antara bibirnya, dan menggeseknya dengan ganas. Adduhhh? seirng gempuran yang makin menjadi pada genitalku, kedutan-kedutan, denyutan-denyutan, mulai muncul semakin intens, semakin kontinyu, dan semakin kuat, sehingga kurasakan beberapa desiran halus menyeruak dari dalam kelopak kewanitaanku. Pantatku terasa basah kuyup. Aku semakin tak bisa bertahan, denyutan-denyutan dalam rahimku kurasakan makin sering, makin kuat dan mendesak-desak, seperti menabraki dinding-dinding syaraf sepanjang rahimku. Makin lama aku makin tak tahan, desakan dari dalam rahimku semakin menguat seiring jeratan lidah pak Siraj pada kelenjarku, dan aku merasakan pertahananku sudah hampir jebol. Luar biasa apa yang kuterima kali ini, hingga kedua kakiku pun tanpa kusadari telah melingkar di atas pundahkPak Siraj, menekannya kuat-kuat, sehingga semakin bertambah-tambah kenikmatan yang menyengati tubuhku. Aku merasa saat itu telah berubah menjadi wanita yang jalang? ya seorang wanita jalang yang sedang diamuk berahi? yang sedang megap-megap menanti datangnya sebuah letupan. Bahkan? kali ini? aku tak kuasa lagi menahan eranganku, rintihanku, jeritanku?

Tiba-tiba aku merasakan letupan dari dalam rahimku, menjalar-jalar sepanjang lorong di dalam tubuhku, seperti menyetrum setiap pembuluh syarafku yang peka. Meletup begitu saja tanpa tertahan lagi. Ah?ah?ahhmm?
Maka, tumpahlah apa yang seharusnya tumpah?Seketika itu kurasakan seluruh tubuhku menggeletar, pandanganku nanar, serasa jiwaku melayang tinggi, ragaku serasa terendam ke dalam samudera kenikmatan ragawi yang tak bertepi. Sedetik, dua detik, tiga detik, sepuluh detik, entah berapa lama? kesadaranku seperti hilang, yang kulihat hanya warna-warni yang berpendar dimataku lalu menjadi kabur?

Entah berapa lama aku melihat warna-warni itu mengabur ketika jiwaku terasa melayang-layang. Lalu perlahan-lahan tampak olehku warna-warni itu berubah jelas dan nyata sehingga bisa kurasakan kesadaranku telah hampir sepenuhnya pulih. Ketika itu seperti terlambat kusadari bahwa Pak Siraj telah mengambil posisi menindihku, pinggulnya tepat di atas pinggulku yang terbuka, dan tubuhnya di antara kedua kakiku yang terkuak lebar., dan aku merasakan ototnya telah menempel pada bawah perutku. Tahulah aku, pak tua ini hendak menyetubuhiku, hendak merenggut kehormatanku yang sesungguhnya hampir tak bersisa lagi. Sedangkan saat itu tubuhku terasa begitu ringan, lungkrah, lemas, dan benar-benar tak mampu menghindar lagi. Aku hanya mampu menunggu dengan perasaan was-was dan perasaan berdosa yang perlahan menyeruak di antara kesadaranku. Tapi sekali lagi aku terlambat, bahkan kedua kakiku yang telanjang begitu lemas ketika ia membukanya lebar-lebar dan menekuk lututku. Aku merasakan otot itu mulai menempel tepat pada kelopakku yang masih membasah dan licin. Lalu kurasakan Pak Siraj mulai mendorong pinggulnya ke arahku sehingga bisa kurasakan kelopakku tertekan ke dalam, satu kali? luput, aku lega, dua kali? meleset? aku merasa ngeri jika tekanannya yang ketiga kali akan menodaiku, jadi aku memiringkan pinggulku ketika ia mulai mendorong lagi. Ya Tuhaann? aku seperti terselamatkan ketika ia tak kunjung bisa menembusku. Pak Siraj merasa penasaran, dibukanya kedua kakiku makin lebar, bahkan kali ini ditumpangkannya kedua kakiku tersangkut pada bahunya, sehingga bisa kurasakan saat itu kalau kelopakku kewanitaanku langsung bergesekan dengan ototnya tanpa penghalang sedikitpun. Aku merasa takut? takut sekali? Dan ia mendorong pinggulnya lagi ke arahku? tangannya yang keriput itu membantu mengarahkan ototnya tepat pada kewanitaanku, sehingga bisa kurasakan ototnya mulai menyelusup seakan membelah kelopak kewanitaanku. Aku takut sekali, aku menahan, aku mengejan, dan pinggulku bergerak semampu yang aku bisa walaupun tidak leluasa. Berhasil? aku lega? Pak Siraj mencoba lagi, mendorong lagi, kali ini meleset lagi?dan kujepit di antara kedua pahaku yang masih licin dan membasah. Ia menggeram, ia mendesis. Mungkin ia mengira sudah berhasil, sehingga terus didorongnya pinggulnya berulang kali ketubuhku sampai kepalanya terdongak ke atas? Tiba-tiba kurasakan tubuhnya bergetar sekalipun baru sekian menit memompa. Mendadak kurasakan perutku tersiram sesuatu cairan yang dingin dan kental, begitu kuat menyemburnya sehingga sampai terpercik ke payudaraku. Seketika itu ia seperti menyadari sesuatu yang salah tempat manakala matanya memandang ke bawah, ia telah kelimaks dengan cara yang tak semestinya, Ia telah gagal menyetubuhiku. Aku lega dan senang tak bisa kupungkiri, karena berarti ia gagal merenggut kehormatanku. Sementara Pak Siraj nampak kecewa sekali. dari mulutnya yang keriput berungkali terucap kata "maaf". Mungkin ia mengira aku menginginkan persetubuhan ini terjadi sewajarnya, padahal dalam hatiku bilang huh siapa yang mau! Mungkin ini karena kesadaranku telah kembali pulih seutuhnya sehabis kelimaksku dua kali sepanjang percumbuan itu. Pak Siraj ambruk di sebelahku seperti kain basah. Ia menutupi bawahnya dengan sarungnya yang kusut masai.

Ketika kulihat Pak Siraj telah loyo lunglai dan nampak kehabisa tenaga, aku mulai bisa menguasai diriku. Dengan tubuh yang masih telanjang bulat bergegas aku masuk ke dalam kamar, mengelap semua cairan kental yang melekat di tubuhku dengan perasaan yang -entah mengapa- terasa begitu menjijikkan. Lalu kupakai kembali semua dalamanku, Kuganti dasterku yang menggoda itu dengan baju piyama yang lebih tertutup dan sopan. Entah mengapa aku melakukan itu aku tak menyadarinya benar. Saat itu yang kurasakan gairahku yang tadi seperti api yang menyala-nyala dan seolah membakarku, kini terpadami begitu saja. Seperti tak bersisa. Tak ada lagi gelora, tak bersisa lagi gairah, dan begitu cepat kurasakan bagian bawah tubuhku mengering dengan cepat.

Ketika keluar kamar menuju ruang tamu, kulihat P. Siraj sudah merapikan dirinya, sarungnya, safarinya, kopiahnya sudah rapih seperti kedatangannya sekalipun kali ini agak kusut, terutama sarungnya. Ia memandangiku dengan tersenyum kecut.

"Sebenarnya saya ingin agak lebih lama di sini Jeng..itu kalau Jeng Sari tak keberatan."
"Ehm, maaf Pak, ini sudah larut, saya takut akan tidak baik nantinya, terutama kalau ada tetangga yang tahu keberadaan Bapak di sini." Entah mendapat kekuatan darimana aku bisa beralasan seperti itu tanpa bermaksud menyinggung perasaannya.
"Jadi? saya ini langsung pulang Jeng, tidak bisakah Bapak menunggu barang satu dua jam, nanti Jeng saya terapi lagi yang sesungguhnya.."
"Maaf Pak, sebaiknya mungkin lain kali saja"
"Jadi Jeng Sari masih bersedia untuk lain kali?"
"Iya, Pak," jawabku mantap tapi penuh kepura-puraan dalam diriku. Entah mengapa aku menjadi tidak nyaman pak tua ini berlama-lama bersamaku, entah mengapa saat itu aku ingin sendiri saja, dan aku merasa merasa muak..
"janji ya Jeng, lain kali.." aku hanya mengangguk sembari mengulurkan amplop kepadanya. Aku membayarnya karena ia telah kadung berjanji melakukan terapi kepadaku, bukannya untuk maksud lain karena ia telah memberiku kesenangan ragawi.

Malam itu aku merasa lega terselamatkan dari bencana yang besar dalam hidupku. Malam itu aku tidur dengan nyenyak sekali walaupun sesekali terganggu mimpi buruk akan sesuatu yang tak kupahami?. Entah mengapa aku tak lagi merasakan perasaan berdosa atau bersalah atas peristiwa yang baru saja terjadi. Hatiku terasa begitu datar dan tawar. Tapi satu hal yang akhirnya kusadari benar bahwa peristiwa demi peristiwa yang kualami itu benar-benar merubah diriku ke depannya 180 derajat.

Kecanduan Dipijat Enak Sih Soalnya Part 3 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Evy Fredella

0 komentar:

Posting Komentar