Senin, 08 Agustus 2016

Kecanduan Dipijat Enak Sih Soalnya Part 2


Pagi itu aku terbangun dalam kegundahan, seakan-akan telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Bahkan saat di kamar mandi, aku merasa malu mendapati bercak-bercak kebasahan yang masih lengket dan belum mengering pada celana dalamku. bahkan saat aku menyabuni sekujur tubuhku, seakan-akan bukan diriku sendiri yang melakukannya, betapa kurasakan pori-pori pada kulitku mengembang sehingga aku merasakan kepekaan yang berlebihan pada kulitku yang membuatku merinding geli, dan kudapati kedua buah dadaku terasa membengkak serta puting-puting susuku terasa kejang, geli, dan kaku. Ahhh apa yang terjadi pada diriku saat ini??? Cepat-cepat kuselesaikan mandiku dan coba alihkan pikiranku kepada hal-hal lain.
Tetapi di kantor pun, ternyata aku kembali teringat P. Siraj. Aku seakan-akan merasakan lagi sentuhannya pada tubuhku yang membuatku menggigil? Untung saja pikiran warasku masih bekerja dengan baik dan aku pun balik menyalahkan orang lain atas apa yang telah kualami ini. Ya? sasarannya siapa lagi kalau bukan ayahku sebab beliaulah yang membuat aku mengalami kejadian ini.

"Hallo?" aku mencoba menghubungi ponsel ayahku untuk memprotes atas tindakannya memberikan nomor telpon rumahku kepada P. Siraj.
"Ya, hallo?" terdengar suara ibuku menjawab telpon di seberang.
"Ini Dewi, Bu? Bapak ada?" tanyaku dengan perasaan berdebar.
"Ga ada Wi, pagi-pagi tadi sudah pergi dengan orang-orang partai xxx? rapat katanya Wi. Tumben kamu nyari Bapak Wi?" tanya Ibuku seakan menyelidik.
"Anu ga papa Bu, Dewi cuma mau nanya siapa yang ngasih telpon rumah Dewi ke P. Siraj?"
"Loh emang kenapa Wi? Bapakmu yang ngasih itu, soalnya kata Siraj terapimu belum selesai, lagipula Siraj juga ngomong kalau kamu punya masalah serius pada kandunganmu. Nanti jadi kesini ga? Ibu sama Bapak khawatir ada kenapa-napa sama kamu"
Duh, langsung lemes tubuhku. Rupa-rupanya P. Siraj ini ngarang-ngarang supaya dia bisa menjamahi lagi tubuhku. Tetapi satu hal yang tak kupahami setelah kututup telponku, aku merasakan munculnya gejolak aneh yang lebih menggelora dibandingkan sebelumnya. Duh entah apa yang akan terjadi nanti seandainya aku jadi berkunjung ke rumah Bapak? Akhirnya, sesiang itu, hingga sore hari, aku nyaris tak bisa tenang dalam bekerja. banyak sekali telpon masuk tak bisa kutanggapi dengan sewajarnya. Belum lagi ada sms dari suamiku yang mengingatkan agar aku tidak menjenguk bapakku usai jam kantor, katanya diapun bakal pulang malam karena ada meeting dengan klien?

Akhirnya usai jam kantor, dengan hati yang berdebar kencang, dengan sejuta gelegak aneh yang menggelayuti hati, akupun pergi ke rumah Ayahku. Sampai di sana suasana rumah tampak sepi, mobil Ayahku ngga kelihatan, hanya sepeda motor Mbak Erni yang tampak terkunci di balik pagar. Dengan perasan berdebar aku m*****kah masuk, walaupun kakiku seakan-akan lemas lunglai. Rasa malu dan cemas mulai kurasakan menyeruak dalam dadaku membuat aku sejenak merasa ragu-ragu. tetapi dari dalam diriku sendiri seakan ada dorongan yang cukup kuat untuk membuatku bertahan, bertahan dari rasa takut, dari rasa malu, dari kehilangan harga diri? Sejujurnya aku bahkan sudah berpikir, seandainya kejadian kemarin ini terulang lagi hari ini, maka hal itu benar-benar sudah bukan kealpaanku semata, sebaliknya karena?

Di ruang tamu ternyata hanya ada Mbok Las (pembantuku) dan Mbak Erni. Tetapi tampaknya Mbak Erni sedang bersiap-siap untuk pergi kalau kulihat dari dandanannya yang sudah rapi.
"Wi, kamu sedari tadi sudah ditunggu-tunggu sama P. Siraj," kata Mbok Las memberi penjelasan kepadaku. Mbok Las memang sudah terbiasa memanggil aku dengan menyebut namaku langsung karena faktor kebiasaan. Dialah mengasuhku sejak aku masih bayi. "Sekarang P. Siraj sudah pergi, ngga tahu kemana Wi, sejak jam empat sore tadi."

Plong. Benar-benar plong rasanya hati ini. Seakan aku baru saja terbebas dari beban berat yang menghimpitku. Sehingga dari mulutku terucap kata syukur. Yang paling melegakan ialah karena aku terhindar dari melakukan kesalahan untuk yang kedua kali. Sekalipun tadi hatiku sempat dipenuhi gejolak yang tak kumengerti, tetapi berita ini sungguh bak air sejuk menyiram sanubariku?
Tetapi kegembiraanku hanya berlangsung sesaat. Kesalahanku adalah aku tidak segera pulang begitu mengetahui bahwa P. Siraj tidak ada di rumahku, sehingga tanpa kusadari aku mengobrol lumayan lama dengan Mbok Las dan Mbak Erni sampai kudengar suara salam yang terucap serak dan berat dari balik pintu depan ruang tamu? suara P. Siraj?
Entah kenapa tiba-tiba aku merasa menggigil, takut. Serasa lemas seluruh sendi-sendi tulangku. Tetapi sekaligus aku juga merasakan debaran kencang dalam hatiku?

Tidak seperti biasanya. kali P. Siraj mengenakan baju koko warna putih, kopiah dan sarungnya pun nampak masih baru. Sejujurnya, walaupun wajahnya tidak menarik, tetapi dengan penampilan barunya itu dia terlihat lebih bersih dan rapih dibanding sebelum-sebelumnya. Dia langsung mengambil tempat di antara kami bertiga, dan seperti biasa, meluncur kata basa-basi dari mulutnya menanyakan keadaan kami semua sambil mulai mengisap rokok kretek kegemarannya. Tak berapa lama, Mbok Las pun minta ijin membuatkan kopi untuk P. Siraj, tinggalah aku dan Mbak Erni yang terpaksa menemani. Setidaknya aku masih tertolong dengan keberadaan Mbak Erni yang memang ceriwis, sehingga aku bisa menutupi rasa gelisahku. Tapi itupun tak berlangsung lama, seperti sudah kuduga sebelumnya, Mbak Erni pun akhirnya pamitan mau pergi, katanya dia ada acara diluar sampai malam hari. Sekarang tinggallah aku dan P. Siraj berduaan saja, sementara Mbok Las masih sibuk menjerang air di dapur.

Aku menyadari benar akan keadaan bahaya yang bakal menimpa diriku saat itu. Dan sebenarnya aku masih mempunyai kesempatan untuk memilih satu di antara dua pilihan. Segera menghindar dan selamat dengan seluruh harga diri, atau membiarkan saja bahaya ini menimpaku. Seandainya aku menghindar saat itu, toh aku tidak rugi sama sekali, paling-paling aku hanya menerima kemarahan ayahku. Itupun soal yang gampang kuhadapi karena aku memiliki alasan yang kuat, misalnya suamiku tak setuju kalau aku disentuh oleh lelaki lain yang bukan muhrimku. Atau alasan apapun lainnya, tidak ada persoalan sedikitpun. Nothing to loose. Tetapi entah mengapa kecil sekali keinginan dalam hatiku untuk mengambil pilihan menghindar dari P. Siraj. Yang ada aku justru larut melayani obrolan-obrolan P. Siraj sekalipun agak enggan. Akhirnya tepat menj***** magrib, P. Siraj menanyakan kesediaanku untuk diterapi lagi. Serasa mulutku kelu untuk berkata tidak padanya, tetapi juga tak sanggup untuk berkata "ya". Harga diriku seakan menuntutku untuk tidak menyetujui, tetapi mulutku malah terasa kelu. Adalah Mbok Las yang tiba-tiba menyeruak kebisuan di antara kami berdua. Celakanya isyarat Mbok Las malah menyulut keberanian P. Siraj untuk mengulangi tawarannya.

"Wi, tadi ibu sudah pesen kalau Dewi jadi dipijat pakai kamar yang atas saja, soalnya Ibu nanti datengnya malam, Bapak Juga. Kamar yang atas tadi sudah Mbok siapkan kok," kata Mbok Las menyela tawaran pijat P. Siraj. Tapi lagi-lagi aku tak mampu mengiyakan maupun menolak. Aku hanya diam saja. Entah kenapa sejak kejadian tempo hari itu, aku serasa tak punya nyali untuk bertatapan mata langsung dengan P. Siraj. Ya, P. Siraj inilah satu-satunya lelaki di samping suamiku yang telah pernah melihat dan menyentuh auratku yang paling rahasia. Entah mengapa, kali ini di depan P. Siraj, yang sejujurnya kuakui berwajah sangat tidak menarik ini, aku merasa dikuasainya. Dan mungkin karena sudah tak sabar mendengar jawabanku P. Siraj menarik tanganku menuju ke loteng. Lagi-lagi aku tak berdaya menolak, bahkan akupun membiarkan saja sewaktu tangannya terus menggandeng tanganku menaiki tangga, seolah-olah orang tua ini takut kalau-kalau anaknya terjatuh. Dan semua itu disaksikan Mbok Las dengan mulut yang ternganga.

Ternyata benar kata Mbok Las, kamar tersebut sudah bersih dan rapi, bahkan sudah disediakan pula kain sarung, handuk, dan baby oil di atas ranjang. Dengan gugup aku segera mengambil semuanya itu dan langsung masuk ke kamar mandi yang berada satu ruangan dalam ruang tidur. Perasaanku berdebar lebih kencang lagi membayangkan apa yang akan terjadi pada diriku, serasa tubuhku makin lemas saja dan tak punya daya. Ketika aku mulai membuka blazerku, kemudian blouse atasku, mendadak muncul pergulatan sengit dalam hatiku. Kamu masih bisa menghindar Dewi, ayo!! Tetapi sekalipun begitu, jari-jariku seperti robot yang diprogram untuk terus membuka kancing-kancing blouseku, sehingga terbukalah tubuhku bagian atas. Kini bagian atas tubuhku sudah terbuka sama sekali hanya berbalut bra warna putih. Bergetar sekujur tubuhku, menyaksikan kepolosan diriku sendiri yang putih bersih terpampang dari cermin besar yang berada di balik pintu kamar mandi. Cermin ini mempertontonkan semua tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki, serta merta kusadari benar adanya cairan yang membersit dari s*****kanganku. Aku benar-benar gemetar? bukan karena takut?
Tiba-tiba kudengar pintu diketuk dan suara P. Siraj yang berat serta serak.."Jeng Dewi bisa agak cepat.. jangan lupa dilepas semua dalemannya ya.." Kata-kata P. Siraj benar-benar membuatku gemetar, seakan-akan menyihirku, membuatku diriku tiba-tiba menggelinjang. Padahal semuanya masih belum terjadi?
Aku diam tak menjawab. hatiku dipenuhi perasaan ragu-ragu ketika aku mulai membuka resleting rok bawahku. Aduhh.. ampun? celana dalamku yang berwarna putih sudah tampak basah sekali. Memalukan sekali, rutukku dalam hati, masih belum apa-apa aku sudah merasakan geli di balik celana dalamku, membuatku makin basah saja? Bagaimana kalau nanti P. Siraj tahu hal ini? Tetapi serasa pikiranku dipenuhi suatu sensasi aneh yang sedemikian kuat, sehingga tanpa kusadari aku sudah mengusap-usap bagian tubuhku yang terbungkus cd? Gerangan apa yang terjadi pada diriku saat ini?? Tidak, aku tak akan membukanya, sekalipun sejujurnya saat ini aku ingin sekali..ohhh..
Cepat-cepat kukenakan kain sarung yang tadi disediakan Mbok Las. Oh, ini pasti keliru! gumamku. Sarung ini terlalu kecil sehingga hanya mampu menutupi bagian dada dan sedikit pangkal pahaku, kalau aku bergerak sedikit saja pangkal pahaku pasti kelihatan? Tapi harus kuakui kalau dengan keadaanku seperti ini aku tampak sexy sekali? sangat sexy? haruskah aku keluar menghadapi P. Siraj dengan busana seperti ini??? Haruskah aku menjumpai P. Siraj seolah sesosok perempuan binal yang meminta dibelai???
Tok?tok?tok? ketukan pada pintu kamar mandiku membuat lamunanku buyar seketika, Aku menjadi susah konsentrasi, semua kata hatiku seperti sirna ditelan sensasi-sensasi yang terus menderaku saat ini.. "Ayo, jeng Dewi? sudah keburu malam," kudengar P. Siraj, serak dari kamar tidurku?
Dengan perasaan ragu aku akhirnya membuka pintu kamar mandi sambil berusaha menutupi bagian pangkal pahaku yang gagal kusembunyikan dengan sempurna.

Ufff? benar seperti dugaanku, mata tua lelaki jelek ini seakan melompat menyaksikan kepolosanku, mulutnya seakan ternganga, dan jakun itu kuperhatikan seperti tercekat di ujung tenggorokannya? Aku lekas-lekas beringsut duduk di sudut ranjang menyembunyikan kepolosanku, aku berusaha menutupi sebisaku. Aku merasa mata lelaki tua ini seakan-akan hendak menerkamku. Ia menghampiriku ikut duduk di sampingku. Tangannya dengan berani tiba-tiba sudah mjendarat di pundakku?

"Tadi saya kan sudah bilang agar dalemannya dilepas saja," katanya sambil menjentik-jentikkan tali behaku.
"Engga usah Pak, gini aja cukup," kataku sedikit ketus.
"Ya..ya..ngga papa Jeng," katanya sedikit menenangkanku. Tapi tiba-tiba kulihat di bibirnya tersungging senyum yang sama sekali tak kusukai "Tapi? kalau yang bawah sudah dilepas belum?" katanya nakal. Seketika itu mukaku serasa ditampar, betapa memalukan sekali pertanyaannya, sehingga aku hanya mampu merenggut mendengar kenakalannya. "Ya.. sudah berbaring saja, Jeng. Telentang ya Jeng, jangan tengkurap."
Tanpa menuruti kata-katanya lantaran malu, akhirnya aku berbaring tengkurap. Betapa kurasakan saat itu, kain sarungku yang menutupi bungkahan pantatku tersingkap karena gerakanku. Aku berusaha menutupkannya sebisaku, tapi percuma karena kain sarung ini memang kekecilan. Aku mencium bau minyak urut yang membuatku pusing seperti minggu lalu. "Jangan pake minyak itu Pak, pake ini saja," kataku sambil mengulurkan baby oil membelakanginya. Aku tak mendengar penolakan darinya. Yang kurasakan saat itu hanya suara degup jantungku yang berdetak semakin kencang dan keras.
Aku merasakan ranjang pegas ini bergoyang sesaat ketika P. Siraj mulai mengambil posisi di samping betisku. Tak seperti kemarin, kali ini P. Siraj langsung meminyaki betisku dengan lotion yang cukup banyak. Entah mengapa, ketika P. Siraj meratakan lotion pada kedua betisku, tiba-tiba aku merasakan kegelian yang menyengat dari balik s*****kanganku. Ohh.. jangan sekarang, gumamku. Mengapa aku jadi secepat ini?

Ohh.. aku merasakan tangan tua ini meluncur dengan tekanan yang lembut di atas betisku yang sudah sangat licin. Ia mengurut dengan gerakan sangat perlahan dari mata kaki hingga menuju lipatan lututku. Aku merasakan kelembutan yang luar biasa mengalir di atas betisku. Kelembutan yang menjalarkan perasaan geli di seantero tubuhku, sehingga tanpa kusadari aku sudah menggelinjang? Dan semakin sering pak tua ini mengurut seperti itu, semakin sering pula aku menggelinjang. Harus kuakui, aku merasa sangat nyaman dengan segala kelembutan yang merasuki tubuhku, sehingga aku bagaikan tersihir manakala kurasakan P. Siraj perlahan-lahan mulai membuka katupan kakiku lebih lebar lagi dan lebih lebar lagi. Aku seakan tak kuasa melawan sekalipun kusadari kalau saat itu P. Siraj bakal lebih jelas lagi melihat s*****kanganku dari belakang tubuhku. Semua akal sehatku seakan tenggelam ditelan oleh rasa nyaman dan sensasi-sensasi aneh yang telah menguasai tubuhku. Aku seakan telah kehilangan rasa malu manakala kedua kakiku dikuakkan makin lebar. Ohh.. aku hanya bisa gemetar? semoga saja pak tua ini tak tahu? Saat itu aku baru menyadari bahwa sentuhannya pada lipatan lututku ternyata benar-benar membuatku mabuk kepayang.
Setelah cukup lama mengurut-urut betisku, sekarang giliran kedua pahaku yang mendapat jatah. Ohh.. aku gemetar lagi ketika teringat peristiwa kemarin saat dia mengurut pahaku. Akankah ini akan terulang lagi???
Aku merasakan tetesan demi tetesan lotion mengalir di atas kedua pahaku, banyak sekali. Lalu diratakannya dari lutut ke arah atas, semakin ke atas, hingga menyentuh pantatku yang masih tertutup celana dalam. Geli sekali yang kurasakan saat itu. Lagi-lagi aku tak bisa menguasai gelinjang yang mendera tubuhku.
"Celana dalamnya sudah basah Jeng, gimana kalau sekalian dilepas saja," katanya sambil berusaha menarik karet cdku dari pantatku. "Jangan Pak," kataku cepat. Entah kenapa saat itu rasa malu kembali menyeruak. "Tadi kesiram air sewaktu saya di kamar mandi." kilahku. Tak kudengar protes dari mulutnya, membuatku sedikit tenang. tapi apalah artinya ketenanganku saat itu, sedangkan sebentar lagi tentunya dia akan mencecarku?

Dan benar saja dugaanku. P. Siraj mulai mengurut kedua pahaku, kali ini kurasakan tanpa keraguan sedikitpun seolah-olah dia sudah membaca kelemahanku. Jemari-jemari tua itu tiba-tiba kurasakan sudah meluncur lembut di atas pahaku. Dari bawah, ke atas, kuarasakan jemarinya menekan paha dalamku menerbitkan rasa geli dan nyilu pada tubuhku. Semakin mendekati s*****kanganku. Semakin gemetar aku. Jemari itu seakan tak berhenti ketika tiba pada bungkahan bokongku, sebagian jemarinya meremas-remas bokongku, sementara jemarinya yang lain terus meluncur ke dalam pangkal pahaku, menekan dalam-dalam dan lembut ke tengah-tengah s*****kanganku yang tertutup celana dalam. Ohh? aku terkejut tiba-tiba? menggelinjang tiba-tiba.. sesaat setelah jemari nakal itu mendarat tepat pada kelenjar syarafku yang paling peka. Tanpa bisa kutahan lagi tiba-tiba kurasakan cairan kewanitaanku membersit, rahimku berkedut, sesaat kurasakan kewanitaanku disesaki oleh rasa enak yang aneh? tubuhku bergetar melawan perasaan aneh yang mulai menguasai diriku.
Dan ketika sentuhan-sentuhan itu makin intens kurasakan, semakin sering diulang, dari bawah ke atas, dan semakin sering s*****kanganku terkena sentuhan, maka makin banyak pula cairan kewanitaanku membersit keluar hingga terasa meluber di sekitar s*****kanganku dan meleleh ke arah pahaku, membuat s*****kanganku makin licin.. aku merasa tak mampu menahan getaran yang secara refleks muncul dari dalam diriku sendiri..
Dan benar saja? ketika kurasakan s*****kanganku semakin licin, jemari pak tua itu terasa terpeleset ketika menekan pantatku, seakan-akan tergelincir, menyelusup ke balik cdku, dan tak bisa dicegah lagi akhirnya jemari- jemari nakal itupun langsung bersentuhan dengan kewanitaanku tanpa dinding pembatas lagi. Aku tak lagi mampu memprotes, sebab gejolak tubuhku yang dirundung kegelian membuat pinggulku bergerak melompat-lompat ke atas, menungging-nungging kecil, seolah-olah hendak memberi akses yang lebih luas bagi pak tua ini untuk berbuat lebih jauh. Harus kuakui kepandainnya untuk menciptakan situasi yang seolah-olah tak disengaja, ketika sebagian jemarinya merasuk di area kewanitaanku dan terus bergerak liar, maka jemarinya yang lain menarik turun karet cdku sedikit demi sedikit hingga aku tak merasakannya? aku hanya merasakan kedua bokongku semakin dingin diterpa hawa pendingin ruangan yang berada di atas ranjangku.

Seperti tak memberi kesempatan padaku untuk berpikir jernih, aku terus menerus dicecar dengan rabaan, usapan, urutan, pijatan, yang langsung bersentuhan dengan kewanitaanku, sehingga mau tak mau saking gelinya, secara refleks pantatku melenting-lenting dan menggelinjang tak terkendali. Akibatnya cdku semakin mudah untuk dipelorotkan, dan aku menyadari benar hal itu ketika kurasakan cdku sudah turun dibawah pantatku. Tapi aku telah dibuat sedemikian gerah dan bergairah, sehingga sirna sudah rasa malu dalam diriku untuk mempertahankan penutup terakhirku, sebaliknya tanganku sibuk mencengkeram sprei keras-keras untuk menahan gejolak yang makin kuat ini. Hal ini membuat P. Siraj makin leluasa menguasai diriku. Sekalipun saat itu aku menyadari benar ketika perlahan-lahan cd-ku bergerak turun melewati pahaku, melewati lututku, melewati betisku? lalu tess? lepas sudah satu-satunya penutup harga diriku yang paling berharga. Rasa malu memang menyeruak, tetapi bersamaan dengan itu muncul semacam gejolak dan gairah aneh yang lebih kuat lagi seiring dengan ketelanjanganku. Bra-ku masih dalam keadaan yang aman, melekat erat menutupi buahdadaku, tetapi sarung yang seharusnya menutupi tubuhku sudah tersingkap sampai di pinggang, sehingga P. Siraj tentu bisa memandangi paha, pantat dan kewanitaanku yang telah terbuka.

Satu-satunya yang bisa membuatku bertahan saat itu adalah karena sentuhan-sentuhan jemari P. Siraj seringkali luput pada bagian pekaku, tapi kadang-kadang juga kena. Sehingga aku masih dapat menahan kelimaks ini sebisa mungkin. Tapi semakin lama akhirnya P. Siraj menemukan juga titik kelemahan utamaku, yaitu ketika jarinya menyentuh kelenjar sarafku yang paling sensitif, badanku langsung bergetar. Sontak pantatku sedikit diangkatnya sehingga posisiku agak menungging, dari belakangku semua jari P. Siraj kurasakan mengusap kelenjarku secara bersamaan. Ketika itu aku merasakan denyutan-denyutan yang makin kuat dari otot-otot rahimku, seketika itu juga aku merasa hampir meledak. Aku sudah tak mampu bertahan lagi, aku merasa pasrah menerima semua kelezatan-kelezatan yang terus mendera kewanitaanku. Aku hanya bisa menunggu dengan penuh rasa malu. Tiba-tiba kurasakan kaitan bra-ku ditariknya dan lepas dalam sekejap mata, dan tahu-tahu aku merasa braku telah terenggut melewati lenganku. Dalam keadaan seperti itu aku masih merasakan kesadaranku seutuhnya sehingga aku malu bukan main sambil berusaha menangkupkan sarung pada kedua lenganku agar merapat menutupi buah dadaku. Tetapi itupun tak bertahan lama. Sarung itu kini telah terenggut lepas dari tubuhku dan terbang entah kemana. Aku malu sekali dengan ketelanjangan yang seutuhnya ini, walaupun P. Siraj hanya bisa melihatku dari belakang. Tetapi tak bisa kupungkiri juga gelegak dalam tubuhku ternyata makin menghebat dalam keadaan telanjangku ini. Sensasi yang kurasakan lebih kuat dari sebelumnya, sehingga bisa kurasakan otot-otot kewanitaanku berdenyut-denyut semakin kuat dan semakin sering. Ohh.. aku merasa saat itu sebentar lagi akan tiba, bukan disebabkan cumbuan suamiku, tetapi oleh lelaki tua yang sebenarnya lebih pantas menjadi ayahku, bahkan kakekku. Aku makin tak berdaya.

Bahkan ketika dengan seenaknya sendiri, P. Siraj membalikkan tubuhku telentang dalam ketelanjangan yang sempurna dihadapan matanya yang nanar, aku hanya bisa pasrah. Aku hanya bisa memejamkan mata mengatasi rasa malu yang tak terkira sambil berusaha menutupi payudara dan s*****kanganku yang terbuka bebas dengan kedua tanganku. Tapi apalah dayaku, P. Siraj menyingkirkan kedua tanganku agar menjauh dari payudara dan s*****kanganku tanpa perlawanan sedikitpun dariku. Sesekali kuberanikan diri membuka mata utntuk mengabadikan apa yang tengah berlangsung, aku terkejut bukan kepalang. Pak Siraj ternyata sudah bertelanjang dada, entah sejak kapan dia membuka baju safarinya. Hanya tubuh kurus dan dada yang keriput dan terengah menanti di antara kedua kakiku. Aduhhh?malunya. Tiba-tiba kurasakan kakiku direnggangkan lebar-lebar di antara tubuhnya. Kupejamkan mata menunggu dengan gelora yang seakan tak jua surut dalam tubuhku. Aku menunggu? entah apa yang akan terjadi? rasanya aku sudah tak mungkin menghindar lagi?

Tiba-tiba kurasakan hawa yang panas menghembus pada s*****kanganku, dan sesuatu yang kasab, dan basah sedang menggesek s*****kanganku. Aduhh? aku tertegun-tegun ketika sapuan itu mendarat tepat pada kelenjar syarafku yang terbuka. Aduhhh? kubuka mataku? yang mampu kulihat hanya seonggok kepala yang beruban sedang terkepit di antara kedua belah pahaku. Adduhhh? kurasakan sapuan itu lagi mengusap panjang pada kelenjarku yang kurasakan membengkak pada puncaknya dan geli?

Aduhh? sapuan itu semakin berulang, sehingga otot-otot panggulku berkedut-kedut dan seakan-akan membersitkan bergalon-galon cairan dari dalam kewanitaanku. Aduhhh?tiba-tiba kurasakan kelenjarku terkunci di antara dua bibirnya yang keriput lalu digeseki secara kontinyu oleh lidahnya yang kasab. Pinggulku refleks bergetar dan terangkat-angkat tanpa kontrol sama sekali, seakan-akan menyodor-nyodorkan untuk dinikmati sepuas-puasnya. Sementara aku sendiri sudah tak mampu lagi untuk tak bersuara, rintihanku sudah lepas kendali, dan seiring kelezatan yang menghantar seantero tubuhku, tanganku malah makin menekan kuat kepala pak tua itu untuk menghantarkanku pada kelezatan yang lebih tinggi lagi.

Aku merasakan buncah-buncah kelezatan dari dalam kewanitaanku terus-menerus menerjang dinding bendunganku yang makin lemah. Akhirnya aku meledak juga dalam rintihan yang keras dan panjang, ketika kurasakan air bah itu seakan bergelombang menjebol bendungan dalam rahimku, menggelontor lorong-lorong panjang yang seakan tak pernah terisi selama bertahun-tahun. Ohhh?Tuhann?. ampuni akku?

Lezat?nikmat? melayang-layang? geli? lalu ngilu? Kurasakan lidah itu masih saja bekerja, seakan membor dinding kewanitaanku padahal aku sudah tak mampu lagi menerima sensasi yang kontinyu merancah kelenjar syarafku. Rasanya ngilu sekali. Secara refleks, entah beroleh kekuatan darimana, aku mengepit kepala pria itu kuat-kuat dengan kedua pahaku, lalu kutolakkan tubuh yang renta itu menjauh dari tubuhku sampai ia terjatuh ke bawah ranjang. Dengan cepat kukemasi sarung dan semua pakaian dalamku lalu aku berlari ke dalam kamar mandi tak lupa menguncinya dari dalam. Dengan kesadaran yang hampir normal, segera kukenakan semua pakaianku tanpa sempat merapikan rambutku yang sudah acak-acakan. Saat itu entah bagaimana dan darimana asalnya, tiba-tiba aku disergap perasaan sangat berdosa pada suamiku karena telah membiarkan tubuh ini dijamah oleh selain dia. Tanpa kusadari air mataku meleleh. Tetapi aku juga merasa takut luar biasa karena di dalam kamar sekarang sedang menunggu pria tua yang barusan berhasil memperdayaku.

Dengan keberanian yang masih tersisa aku keluar dari kamar mandi, lalu berlari cepat melewati lelaki tua yang masih terduduk tanpa baju sedang mengisap rokok kreteknya? Saat itu rasanya seperti melayang? cepat sekali? sehingga tahu-tahu aku sudah berada di depan halaman rumah orangtuaku. Dengan perasaan yang ketakutan segera kumasuki mobilku dan berlalu secepat-cepatnya dan sejauh-jauhnya dari tempat aku dinistakan ini?

Kecanduan Dipijat Enak Sih Soalnya Part 2 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Evy Fredella

0 komentar:

Posting Komentar