Home /
Cerita Panas /
Jepang /
My Diary /
Ngentot /
Pemerkosaan /
Satorman /
MY DIARY 040 - Buku Harian Kakekku
Jumat, 12 Agustus 2016
MY DIARY 040 - Buku Harian Kakekku
Hari itu juga langsung ku buang semua koleksi komik Naruto milikku beserta patung action figure Kamen Rider ku, aku buang di halaman belakang lalu ku bakar semua. Emosiku bergejolak kencang, aku menjadi benci dengan sesuatu yang berhubungan dengan Jepang.
***
Namaku Subandi, anak remaja yang seharusnya seprti lainnya menggemari anime ataupun manga, namun aku sangat membencinya ketika aku tahu betapa jahatnya orang Jepang. Semua bermulai dari kutemukannya buku harian milik kakekku, dan di sana lah aku tahu betapa baiknya kakekku itu, dan bagaimana hubungan kami sebenarnya.
***
Aku tinggal di sebuah rumah kecil sendirian, sejak kecil aku sudah ditinggal pergi oleh orang tua ku yang mengadu nasib di negeri seberang Malaysia, mereka hanya tahu mengirimkan uang untukku. Sebelumnya aku tinggal bersama kakek, berdua hidup bersama, dan beliau lah yang banyak berjasa membesarkanku. Dua bulan lalu ia sakit keras, dan harus meninggalkan ku sendiri di sini, almarhum hanya meningalkan beberapa kotak barang-barangnya.
Hari itu aku baru sempat membukanya, dan menemukan sebuah buku harian milik kakekku, di sana tertulis jelas di buku lusuh dengan tulisan tangan di depannya ‘Supardjo’ nama kakekku. Aku mulai membukanya, awalnya belum ada yang janggal, hingga sebuah kisah mengerikan yang aku temukan, kisah di mana negara kita dijajah oleh negara Jepang.
Tanpa rasa menyesal aku membakar semua koleksi-koleksi mainan ku yang berhubungan dengan Jepang, biarlah semua menganggapku bodoh, namun aku tidak bisa menerima semua ini, bangsa kita telah diperlakukan sangat keji, dan aku berharap suatu saat aku dapat membalasnya.
***
BUKU HARIAN SUPARDJO
***
Malam dan sangat gelap di tengah hutan. Sebuah gubuk reot kosong terlihat, dalamnya kosong dan penuh debu, mungkin sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya.
“Kita harus berpisah sampai di sini”, kata Erwin. “Kalian mau ke mana? Gelap sekali, apa kalian bisa menelusuri hutan ini? Saya rasa kita lebih aman di sini”, kataku. “Kami sudah menjadi target, kami tidak bisa bersama kalian di sini, resiko sangat besar kalau melibatkan kalian”, lanjut Erwin.
Erwin adalah teman kami, dia keturunan betawi, bersama Ahong keturunan Tiong Hua, mereka berlari menyusuri hutan. Mereka adalah mahasiswa, orang pintar yang sekarang sedang menjadi target incaran Jepang. Sudah beberapa pemuda pintar di kampung kami yang dibunuh, sedangkan yang tidak berpendidikan tinggi dipaksa menjadi pekerja, bahkan gadis-gadis kampung kami banyak yang dibawa ke markas Jepang untuk dijadikan wanita pemuas nafsu.
Kugenggam tangan Rahayu dengan kuat, teman baikku, ia baru berumur 16 tahun, aku sebenarnya ada hati dengannya, aku tidak mau dia ditangkap oleh Jepang. Rahayu sangat cantik, tubuhnya langsing namun sedikit mungil. Bersama kami juga ada 3 orang dari kampung kami, semuanya masih muda, Kartolo,Sutrisno dan Jayanti.
Di gubuk kecil reot ini kami berlima bersembunyi, dalam hutan yang kami rasa lebih aman , sambil menunggu bantuan, semoga Erwin dan Ahong berhasil sampai di kampung terdekat. Gelap sekali di sini, kami tidak berani bersuara karena takut menimbulkan sesuatu yang mencurigakan, takut ada tentara Jepang yang berpatroli hingga ke sini. Beberap pemuda lain yang melarikan diri juga sudah melalui jalur lain, hanya orang tua saja yang tertinggal karena tidak mampu berjalan jauh.
Ku intip dari lubang sela-sela kayu dinding, sekitar sangat sepi, hanya pepohonan yang kulihat, namun di arah kampung kami nampak asap tebal membumbung tinggi. Saya rasa di sana sedang terjadi pembakaran, mungkin desa kami sudah diratakan.
Kartolo, Sutrisno dan Jayanti sudah tertidur di dalam gubuk, walaupun sedikit kotor karena berdebu, namun mereka sudah lelah berjalan kemari, aku masih terjaga, tidak sedikitpun rasa kantuk menjangkitiku, ku lihat Rahayu juga sedikit ngantuk, dia selalu menguap. “Kamu tidur saja, biar malam ini aku yang berjaga”, kataku kepada Rahayu. Ia pun mengangguk lalu berbaring ke lantai. Aku masih mengintip ke arah luar, takut dengan adanya tentara Jepang yang kemari.
Mungkin sudah hampir subuh, aku sebenarnya sudah mulai mengantuk, namun aku masih harus tetap terjaga untuk mengintai. Jantungku mulai dag dig dug ketika ku lihat ada cahaya yang terlihat, jauh di dalam pepohonan, bisa jadi itu patroli tentara Jepang. Aku berusaha terus memperhatikannya berharap cahaya itu tidak sampai ke sini.
Syukurlah, beberapa saat kemudian cahaya itu menghilang, mungkin mereka kembali ke markas mereka, aku mulai lega dan ku tetap perhatikan beberapa saat, ya, cahaya itu benar-benar sudah tidak ada lagi. Rasaku sedikit aman, karena sebentar lagi pagi seharusnya aku tidur sebentar saja walaupun beberapa menit, agar besok kami bisa melanjutkan perjalanan kami.
Aku terlelap, dan tiba-tiba sesuatu membangunkanku. Tendangan di perut membuatku tersentak dan terbangun, hanya beberapa menit terlelap namun neraka sudah menyambutku. Kulihat sekitar 5 orang tentara Jepang tengah menodongkan senjata laras panjangnya ke arah kami, kondisi masih gelap, satu tentara menyoroti kami dengan senter. Mereka entah bercakap apa ketika melihat kami bersembunyi di sini, Rahayu dan Jayanti kemudian berpelukan karena ketakutan.
Tentara itu pun berteriak entah apa artinya, seakan-akan seperti membentak kami, ku lihat Sutrisno ditendang lagi oleh salah satu tentara karena mencoba melototinya. Tentara yang memegang senter itu terus menyoroti Rahayu dan Jayanti, sambil menyengir ia pun melihat ke arah temannya, saya rasa ada yang tidak beres, mereka pasti ingin melakukan sesuatu terhadap Rahayu dan Jayanti.
‘DOR’, suara tembakan senjata api ke arah atas yang dilakukan tentara Jepang seolah-olah ingin mengancam kami untuk tidak melawan. Lalu satu tentara Jepang menarik Rahayu agar lepas dari Jayanti, “Jangan... Kyaaaaaaaa”, teriak Rahayu, yang langsung disergap tentara itu kemudian dipeluknya. Aku tak mampu melihatnya diperlakukan begitu, aku coba bangkit namun kepalaku dihantam dengan gagang pistol oleh tentara lainnya hingga kembali tersungkur ke lantai.
Tentara itu mencoba menciumi bibir Rahayu, namun Rahayu menolaknya. ‘BUK’ suara pukulan keras di perut Rahayu hingga Rahayu kesakitan dan terjatuh. Aku berusaha bangkit lagi, namun sia-sia, tentara-tentara Jepang itu memukuli kami lalu mengikat kami hingga kami tidak berkutik.
Tentara yang tadi memukuli Rahayu lalu melepaskan pakaiannya, sedangkan tentara lainnya hanya berjaga-jaga takut kami bertindak lagi. Rahayu terkapar dan tak sadarkan diri, sedangkan Jayanti juga terikat seperti kami, ia hanya menangis takut sesuatu juga terjadi padanya.
Tentara itu sudah bugil, tanpa sehelai pakaian pun, ia kemudian merebahkan diri menimpak tubuh Rahayu yang mungil dan pingsan itu. Tentara itu memeluknya lalu menciumi bibirnya dengan kasar. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, maafkan aku, gumamku dalam hati.
Tentara lain tertawa-tawa melihat temannya akan memperkosa Rahayu, lalu berkata sesuatu seolah-olah mereka menunggu giliran. Tentara itu telah berhasil membuka semua pakaian Rahayu, payudara kecilnya terlihat ranum, walau remang-remang ku lihat, namun sesekali tentara yang memegang senter itu menyinari tubuh Rahayu yang putih itu. Tentara itu tertawa terbahak-bahak memeluk tubuh Rahayu lalu menyedoti payudaranya, dengan keras ia mengenyot payudara Rahayu.
Setelah puas menyedoti payudara Rahayu, tentara itu lalu mulai memainkan lubang vagina Rahayu dengan jarinya. Rahayu masih pingsan, ia tidak bergerak sama sekali. Tentara lain nampak menekan-nekan penis mereka dari arah luar celana, sepertinya mereka menunggu giliran. Satu tentara kemudian membuka pembicaraan, sepertinya dia tidak sanggup menunggu antrian, tentara lain sperti mengiyakan. Lalu tentara itu pun mendekati Jayanti, “Hiks hiks hiks...”, Jayanti menangis karena takut. Tentara itu membuka ikatannya, lalu menamparnya agar Jayanti menghentikan tangisannya.
Jayanti didorongnya jatuh lalu tentara itu dengan kasar merobek-robek pakainnya. Jayanti tak mampu melawan, tentara itu mendekapnya dengan kuat, tamparan bertubi-tubi pun diarahkan ke pipi kiri kanan nya hingga memerah. Jayanti terus menangis tanpa perlawanan, tubuhnya sudah bugil, dan tentara itu pun sudah siap menyalurkan nafsu bejadnya, ia sudah melepaskan pakaiannya.
Di sana Rahayu sudah digagahi satu tentara, tubuhnya gemulai sedikit bergerak hanya karena genjotan sang tentara. Di sisi lain Jayanti juga sedang diperkosa tentara satunya lagi, Jayanti tidak bisa menghentikan tangisannya. Tubuh mereka dijamah oleh orang asing, sungguh sangat biadab, aku tak mampu melihatnya, ingin sekali aku melawan, namun apa daya. Aku hanya sesekali memandang ke arah sana karena takut mereka bertindak lebih brutal lagi, misalnya membunuh.
Tentara lain mulai membuka pakaian mereka, namun senjata tetap di tangan, tanpa mau mereka lepas semenit pun. Mereka mulai mengambil posisi dan pemanasan dengan mengocok-ngocok penis mereka.
Setelah kedua tentara itu puas memperkosa Rahayu dan Jayanti, kedua tentara itu kembali mengambil senjata dengan menodongkannya ke arah kami, sedangkan tentara lain menggantikan posisi mereka untuk memperkosa Rahayu dan Jayanti.
Beberapa saat ku lihat Jayanti sudah tidak sadarkan diri karena tentara kedua yang memperkosanya lebih kejam, ia meninju-ninju perutnya agar Jayanti menghentikan tangisannya, dan menggigit-gigit putingnya hingga berdarah. Beda halnya dengan Rahayu, ia mulai sadar dari pingsannya, ia kaget dan berteriak, mencoba melawan dengan menendang-nendang, namun pelukan kuat tentara itu membuatnya sia-sia melawan. Tentara itu sudah menggenjotnya, Rahayu hanya bisa mencengkram keras pundak tentara itu untuk berusaha melepaskan dekapannya.
Rahayu kemudian menangis, ia tak menyangka akan terjadi seperti ini, usahanya melawan pun sia-sia, bahkan tenaganya pun terkuras habis karena perlawanannya. Kini ia hanya bisa terbaring menangis sambil membiarkan tentara itu memperkosanya. Aku ikut menangis melihat penderitaan Rahayu, sungguh malang nasibnya.
Tentara lain memperhatikan temannya memperkosa Rahayu dan Jayanti, sambil berbincang-bincang mereka masih menodongkan senapan mereka ke arah kami.
Beberapa saat pria yang memperkosa Rahayu pun menarik penisnya dan kemudian berdiri, dia sudah puas memperkosa Rahayu. Kesempatan itu dimanfaatkan Rahayu untuk coba bangkit dan ingin melawan, namun tentara satunya yang lagi menunggu giliran pun langsung menyergap Rahayu, ia sudah tidak sabar juga untuk menikmati Rahayu. Percuma saja perlawanan yang diberikan, kami seperti domba yang sedang tergigit oleh harimau.
Tentara terakhir yang belum mendapat giliran itu pun langsung memperkosa Rahayu tanpa ampun. Kemudian tentara satunya sudah puas meniduri Jayanti punbangkit dan digantikan oleh tentara yang pertama kali memperkosa Rahayu. Mereka terus memperkosa Rahayu dan Jayanti secara bergantian, tanpa ampun, dan tanpa jeda. Rahayu dan Jayanti pun sudah tidak sadarkan diri, tubuh mereka penuh memar.
Pagi menyingsing, aku ketiduran, cahaya matahari membangunkanku dengan sinarnya melalui celah dinding kayu. Kulihat sekitar, Kartolo dan Sutrisno masih terlelap dengan ikatan keras ditubuh mereka. Namun di sisi lain, Rahayu dan Jayanti pun masih belum sadarkan diri, mereka masih diperkosa tentara biadab itu berjam-jam tanpa henti dan secara bergiliran.
***
Aku tidak mampu melanjutkan membaca buku harian kakek lagi, namun di halaman lain aku temukan beberapa catatan lagi, bahwa Rahayu dan Jayanti dibawa ke markas Jepang untuk kembali diperkosa secara beramai-ramai. Sedangkan tawanan laki-laki dipekerjakan sebagai budak, kakek kemudian didatangi seorang tentara Jepang bernama Kobayashi, ia membawa seorang bayi mungil, katanya itu adalah anak Rahayu, tentara itu menyerahkannya pada kakek karena tahu kakek dan Rahayu saling mengenal. Kobayashi tentara yang baik kata penduduk setempat, ia tidak memperlakukan penduduk seperti tentara lainnya. Kabarnya Rahayu meninggal ketika melahirkan bayi itu yang tak lain adalah ayahku.
Kakek membesarkan ayahku tanpa beban, walaupun ia tahu ayahku bukan anak kandungnya, namun ia setia merawatnya, hingga ia menutup usia pun ia masih terus merawat cucu dari Rahayu. Luar biasa kakek, selamat jalan.
TAMAT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar