Selasa, 18 Oktober 2016

Maafkan Mama - Apa Dosaku Umi?


Aku duduk ditepian tempat tidur Umi dalam keadaan pesakitan menunggu hukuman apa yang akan kuterima darinya. Mungkin aku akan disuruh membersihkan rumah, atau uang jajanku akan di potong, tapi setidaknya itu akan lebi baik dari pada Umi mengadukan perbuatanku kepada Abi.

Sekitar satu jam kemudian, Umi kembali kekamar, kudengar suara pintu tertutup, lalu di kunci.

Aku menundukan wajahku saat Umi mendekat, jujur terkadang aku merasa begitu bodoh, seandainya saja aku tidak mengakui kebiasaan burukku selama ini, mungkin aku tidak perlu menjadi orang pesakitan. Ah sudalah, penyesalan memang selalu datang terakhir.

"Sudah Umi pikirkan hukuman yang akan Umi berikan kepadamu." Katanya, aku masih diam menanti hukuman seperti apa yang kudapatkan darinya. "Umi akan kasih tau Abi, biar Abi saja yang memutuskan hukuman untukmu." Lanjutnya, membuat tubuhku gemetar. Sumpah demi apapun ini tidak boleh terjadi.

"U... umi aku mohon jangan." Segera saja aku bersujud didepannya sambil memegangi pergelangan kakinya, Sungguh aku sangat ketakutan, bayangan hukuman yang akan Abi berikan kepadaku membuat bulu kudukku berdiri.

Terakhir aku di hukum Abi, saat aku ketahuan sedang merokok, saat itu Abi sangat murka lalu memukuliku membabi buta, wajahku lebam, tubuhku membiru, bahkan aku sempat sakit tidak masuk sekolah selama dua hari karena di pukul habis-habisan. Semenjak itu aku tidak perna lagi merokok.

"Kesalahan kamu sangat berat, Umi pikir biarlah Abi kamu yang memutuskan hukuman apa yang layak kamu terima untuk menebus kesalahan kamu."

"Jangan Umi, aku mau di hukum apa saja, asal Umi tidak mengadukanku ke Abi."

Umi diam sejenak, lalu dia duduk di tepian tempat tidurnya, sementara aku masih bersimpu di lantai didepannya. Saat aku mengangkat kepalaku, saat itu juga aku kembali mendapat pemandangan yang mampu menentramkan hatiku yang lagi ketakutan. Sepasang paha mulus terpampang dihadapanku.

"Nakal kamu Adam, baru di bilangin sudah berani ngintipin Umi lagi." Ucapannya membuat si junior yang tadi sudah bangun kembali tidur.

Aku segera menundukan wajahku kembali, tapi Umi segera mengangkat daguku, sehingga wajahku juga ikut terangkat. Perlahan mataku kembali bertemu dengan kedua lututnya, lalu kedua lututnya yang tadi bertemu, perlahan memisahkan diri, merenggang semakin merenggang, sehingga matakupun dapat melihat celana dalamnya yang sedang mengintip malu-malu.

"Yakin mau dihukum apa saja ?" Ujarnya, aku mengangguk yakin.

"Kamu gak akan nyesal, hukuman Umi pasti lebi berat dari Abi, kalau Abi paling cuman mukul tapi kalau Umi pasti lebih dari situ." Lanjutnya, lalu tangannya kanannya meraih kepalaku dan mengucek-nguceknya perlahan.

"Ya gak kok Umi, asal Abi gak di kasi tau, aku mau di hukum apa aja Umi." Kataku meyakinkannya. Umi tersenyum, sepertinya dia senang dengan jawabanku lalu dia berdiri.

"Buka baju kamu." Pinta Umi, kini aku yang terdiam. "Kok diam, buka baju kamu, katanya mau di hukum apa aja ? Atau kamu mau Abi yang kasih hukuman buat kamu." Ulang Umi, walau aku tidak mengerti apa yang diinginkan Umi sebenarnya, tapi aku lebi memilih membuka pakaianku dari pada berurusan dengan Abi.

Segera kubuka pakaianku hingga telanjang bulat, sumpah aku malu banget, dengan bersusa paya aku menutupi selangkanganku.

"Kok di tutupin, buka dong sayang."

"Tapi Umi ?" Ujarku protes.

"Kenapa ? Kamu malu ? Waktu ngintip kamu perna gak mikir kayak gini." Lanjut Umi, membuat rasa bersalahku semakin besar. Lalu tiba-tiba kakinya menjulur dan mengais tanganku agar menjauh dari selangkanganku, dengan terpaksa aku menyingkirkan tanganku.

Saat ini mungkin wajahku seperti kepiting rebus, menahan malu, apa lagi Umi seperti sengaja melecekanku, dengan kakinya dia memainkan testisku, sesekali kurasakan dia mencubit kantung penisku dengan kedua jari kakinya.

Sakit si, tapi entah kenapa aku merasa ada sensasi yang luar biasa menjalar ketubuhku, bahkan penisku sendiri meresponnya dengan memberi hormat.

"Kamu nakal sekali Adam, berani ngintipin Umi, bahkan sampe ngayalin Umi yang enggak-gak."

"Maaf." Kataku.

"Kamu suka ?" Tanyanya, sambil mengurut penisku.

""uhhk.. suka apanya Umi ?" Tanyaku sembari mendesah, walaupun sedikit merasa risih dengan perlakuan Umi, tapi harus kuakui, permainan kaki Umi di penisku sangat enak sekali.

"Ini, kontol kamu Umi mainin begini, kamu sukakan ?" Ulangnya, sambil tersenyum memandang si junior yang suda ereksi sempurna.

"Tidak Umi, aku malu." Kataku jujur, walaupun aku keenakan.

"Sukakan ?" Diulanginya lagi kalimat yang sama.

"Iya Umi." Jawabku pasrah.

Lalu tiba-tiba saja Umi menarik tanganku, dan menjatuhkanku keatas tempat tidurku, dengan gerakan yang begitu cepat dia mengambil borgol didalam lemari kecil yang ada disamping tempat tidurnya, lalu tanpa bisa kutolak, kedua tanganku dengan cepat ia borgol kebelakang.

Siksaanku belum berakhir, untuk menahan tubuhku, Umi mendudukiku sehingga aku benar-benar tidak bisa bergerak karena tertimpa berat tubuhnya.

"Umi, kenapa ?" Tanyaku bingung.

"Umi boleh hukum kamu apa sajakan ?" Katanya balik bertanya. "Kamu anak nakal, tapi Umi suka kamu nakal sayang." Bisiknya, lalu tanpa menunggu jawabanku tiba-tiba saja Umi memanggut bibirku dengan ganas.

Awalnya aku merasa sangat kaget dengan perubahan yang di tunjukan Umi, tapi lama kelamaan aku terbiasa dan mulai membalas pagutan Umi.

Aku melenguh tertahan saat tangan kanannya menggenggam burungku, mengurutnya perlahan. Tak lama kemudian Umi melepas pagutannya, dan memandangku senang, memerkan gigi-giginya yang rapi. Lalu tak lama kemudian, Umi membuka gaun tidurnya, menyisakan pakaian dalam yang melekat ditubuhnya.

"Sebagai hukumannya, kamu harus melayani Umi malam ini." Bisiknya, lalu dia kembali memeluk tubuhku. Sempurna dadanya yang besar kini menindi dadaku.

Bodoh... bodoh... bodoh... sekarang aku mengerti apa yang diinginkan Umi dariku, ternyata... Ah Umi, kenapa gak bilang kalau ini yang Umi inginkan, kalau aku tau dari awal, pasti aku akan memilih di hukum Abi dari pada mendapatkan hukuman dari Umi.

Ini tidak boleh terjadi, memang aku suka Umi, sering ngintipin Umi, tapi kalau sampe menyetubuhi Umi sendiri, aku tidak mau, walaupun aku sangat ingin tapi ini salah, ini dosa besar. Sadarlah Umi... Aahkk... AKU ANAK KANDUNGMU.

Umi melepas branya, lalu membuangnya membiarkan payudarahnya yang besar terguncang didepanku. "Kamu mau inikan ? Ayo sayang di kulum, jangan malu-malu gitu sama Umi. Bukannya kamu suka ngintipin susunya Umi." Katanya, sambil menyodorkan payudaranya kedepan wajahku.

Aku kembali berontak, menggelengkan kepalaku menolak payudarahnya dengan tegas. Tapi Umi menahan kepalaku, menekan payudarahnya kemulutku, reflek aku menutup mulutku dengan sangat rapat agar payudarahnya tidak sampai masuk kemulutku.

Mungkin sebagian orang akan berfikir kalau aku ini bodoh, bahkan Umi sendiri mungkin berfikiran sama. Aku memang bodoh tapi aku tidak cukup gila untuk menuruti kemauan Umi, seandainya saja saat ini dia orang lain, bukan Ibu kandungku, mungkin sudah sedari tadi aku membalas perlakuannya, tapi ini Ibu kandungku sendiri, aku tidak ingin menjadi anak durhaka dengan menodai Ibu kandungku sendiri.

"Ayo kulum puttingnya Umi, dulu waktu masih kecil kamu paling suka nenen sama Umi." Katanya memaksaku, tapi aku tetap berusaha sekuat tenaga menolak permintaan Umi.

"Hmm... " Aku menolaknya dengan tegas.

Tidak kehilangan akal, Umi menjepit hidungku hingga aku kesulitan bernafas, awalnya aku masi bisa bertahan, hingga akhirnya aku menyerah dan membuka mulutku untuk mengambil nafas, dan kesempatan itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Umi untuk menyumpal payudarahnya kedalam mulutku.

Awalnya aku merasa kesulitan mengulum payudarahnya, yang menurutku ukurannya terlalu besar, tapi lama kelamaan aku terbiasa dengan payudarahnya didalam mulutku, bahkan aku mulai menghisap, sesekali lidahku memainkan puttingnya tanpa kusadari, semua yang kulakukan hanya mengikuti naluri.

Dengan erat Umi membekap kepalaku, memperlakukanku seperti balita, sementara aku sendiri mulai bingung dengan diriku sendiri. Disisi lain aku tak menginginkannya tapi tubuhku menghianatiku, mulutku tanpa di perintah bergerak dengan sendirinya, menghisap dan menjilati puttingnya, bahkan ketika Umi menarik payudarahnya aku merasa kecewa, tapi kekecewaanku terganti ketika dia menyodorkan payudaranya yang lainnya.

"Enak ya sayang ? Tadi bilangnya gak mau ?" Ejek Umi, aku hanya diam sambil menyusu kepadanya.

Puas memaksaku mengulum kedua payudarahnya, Umi bangkit berdiri didepanku, lalu dengan gayanya yang seksi ia menurunkan celana dalamnya dengan sangat perlahan, hingga aku seperti terhipnotis dengan cara ia meloloskan celana dalamnya.

Umi mengambil celana dalamnya, lalu melempar celana dalam itu kearahku.

"Ambil, lalu duduklah dan diam." Katanya yang terdengar seperti sebuah perintah untukku. Tanpa berfikir lagi aku menuruti ucapannya.

Aku kembali duduk ditepian tempat tidurnya dalam kedaan telanjang bulat, begitu juga dengan keadaan Umi yang tidak jauh berbeda denganku. Lalu Umi berjongkok didepanku, tangannya kembali membelai penisku, dan sedetik kemudian, tiba-tiba Umi sudah menjilat kepala penisku tanpa bisa kucegah.

"Ja... jangan Umi." Tolakku dengan suara bergetar.

"Sluppss... Diam, atau Umi akan sangat marah denganmu. Sluuhpp... Sluupss... " Lagi-lagi Umi mengancamku.

"Tapi Umi, Aahkk... geli Umi." Rintihku, tapi jujur aku sangat menikmatinya, membuatku sedikit ragu untuk menolak servis oral darinya.

"Kontol kamu enak sayang, walaupun ukurannya kecil, Hhmmpp....Sluippss... Umi gak nyangka kalau kontol kamu seenak ini, kalau tau begini sudah dari dulu Umi perkosa kamu." Ceracau disela-sela menikmati batang penisku.

Sepertinya benar apa yang dikatakan Umi, saat ini aku sedang diperkosa olehnya tanpa bisa memberi perlawanan berarti. Gila, aku diperkosa oleh Ibu kandungku sendiri.

Lima belas menit telah berlalu, aku merasa sebentar lagi aku akan segera keluar, pinggulku sedari tadi bergerak kiri kanan, menahan rasa geli di penisku, sementara Umi sendiri sepertinya tidak mau berhenti, malahan semakin hebat saja ngulum penisku, sampe-sampe kedua pipinya kempot karena ulahnya.

"Umi... mau pipis !" Kataku, tidak tahan.

"Keluarin aja sayang, biar Umi telan spermanya kamu, Umi juga pingin ngerasaain spermanya kamu, enak apa gak ?" Katanya enteng, seperti tidak ada masalah dengan apa yang sedang kami lakukan saat ini.

"Aaahh... Umi, enaaaakkk... aahkk... " Rintihku semakin lepas.

Karena sudah mendapat izin, aku mulai ikut menggoyang pinggulku berharap aku mendapatkan orgasme pertamaku didalam mulut Umi. Membayangkannya saja sudah membuatku merasa sangat bersalah sekaligus sangat terangsang.

"Umi, aku keluaaar !" Pekikku, lalu dari ujung kepala penisku menyembur cairan kental kedalam mulutnya, dan seperti yang Umi katakan, dia benar-benar menelan spermaku tak bersisa.

===

Di sudut ranjangnya, aku menangis tanpa suara, aku tidak mengerti dengan diriku sendiri, sebelumnya aku slalu mebayangkan diriku sendiri bisa bersetubuh dengan Ibu kandungku sendiri, tapi ketika hal itu benar-benar terjadi, aku malah menyesal, dan ada rasa sakit jauh di dalam hatiku, aku merasa diriku sangat kotor.

Kuusap air mataku, kembali kupandangi Umi yang telanjang bulat sedang memegang kamera, lalu di susul kilatan cahaya dari lampu kamera, selama beberapa kali.

Bukan hal baru bagiku di foto oleh Umi, tapi tidak untuk dalam kondisi seperti ini. Aku meringkuk dalam keadaan telanjang bulat, kedua tangan di borgol dan mulutku di sumpal celana dalamnya.

"Bagus." Katanya, sambil melihat hasil karyanya.

Lalu Umi kembali berjalan mendekatiku, dia memintaku tidur bersujut di lantai, disamping tempat tidurnya. Aku menurut saja, sudah kepalang tanggung pikirku, sekalian aja nyebur.

"Mulai detik ini, kamu harus menuruti semua kemauan Umi, atau Umi akan sebar foto ini keteman-temanmu." Ancamnya, sambil tersenyum licik, sementara aku hanya tertunduk lesu. "Sekarang bersikan kaki Umi pake mulutmu itu kontol." Perintahnya dengan kasar, tanpa memperdulikan perasaanku yang semakin terluka.

Walaupun aku tidak ingin melakukannya, tapi di bawah ancamannya aku tidak berani membantanya. Kuangkat kaki kanannya, sebelum menjilatinya, aku meludakan celana dalamnya yang basah oleh air liurku terlebi dahulu, setelah itu aku baru mulai mejilati jari-jari kakinya. Sedikit keberuntungan yang kuperoleh, ternyata kaki Umi tidak bau, malahan sangat wangi, sepertinya dia membersikan kakinya terlebih dahulu sebelum memintaku menjilati kakinya.

Setelah menjilati jari kakinya hingga bermandikan air liurku, aku berpinda kebetisnya lalu terus naik hingga kepahanya, gerakan itu kulakukan berulang-ulang. Setelah kaki kanannya, aku beralih kekaki kirinya, kuperlakukan sama dengan kaki kanannya.

"Hihihi... kamu kayak hewan peliharaan tau gak hihi." Ledeknya, sambil menjejalkan seluruh jari kakinya kedalam mulutku, aku nyaris saja tersedak akibat perbuatannya.

"Bluupss... bluuppss... bluppps... "

"Enak ya ?" Tanyanya, lalu melepas jari kakinya dari dalam mulutku, hingga aku bisa kembali bernafas dengan bebas tanpa adanya kaki Umi didalam milut.

"Iya, eeenak !" Jawabku dengan sangat terpaksa.

"Sekarang, kamu jilatin hidangan utama dari Umi, sampai bersi ya." Gleek... Aku dipaksa menelan air liurku sendiri yang terasa hambar, ketika Umi mengangkat kedua kakinya diatas pinggiran sofa.

Aku yang masih bersujud didepannya, dapat melihat jelas bibir vagina Umi yang basah, berwarna putih seperti buih, ada rasa yang cukup kuat untuk segera mencicipinya, tapi untunglah kesadaran mampu menekan keinginanku agar tidak langsung menjilatinya hingga ada perintah dari Umi yang sekarang beruba menjadi majikanku.

"Kamu sudah gak sabar ya ? Hihi... ayo jilatin sekarang." Perintahnya, seolah mengerti apa yang sedang kupikirkan.

Kubenamkan kepalaku di selangkangannya, lidahku menjulur menjilati vaginanya, kusedot pelan clitorisnya, sesekali kutusuk lobang vaginanya. Kulakukan apa yang perna kulihat dari film porno koleksi pribadiku.

"Aahkk... uuhkk... enak ! Kamu pinter !" Puji Umi, sambil mencengkram rambutku.

""Sluupss... sluuopss... sluuupss... "

"Ya begitu, lebi dalam lagi... aahkk... "

Kugigit sedikit clitorisnya, lalu kutarik pelan. Kulakukan hal itu berulang-ulang, selain menarik, aku juga suka menghisap clitorisnya, rasanya asin tapi gurih, pokoknya aku suka, sanking sukanya penisku sampe berdiri maksimal.

"Umi... mau sampe sayang."

Semakin dia mengerang aku semakin bersemangat menjilati vaginanya, hingga akhirnya Umi memuncratkan cairan dari dalam vaginanya ke wajahku sangat banyak sekali, hingga wajahku berlumuran lendir yang lengket.

"Aaaaaaaahkkk.... kamu hebaaat !" Erangnya, sambil mengapit kepalaku dengan kedua pahanya, membuatku kesulitan bernafas.

Setelah beberapa menit, seiring dengan erangannya yang mereda, jepitan di kedua pahanya ikut melonggar, membuarku kembali bisa bernafas lega. Aku terduduk lemas didepannya, sambil berusaha mengatur nafasku, Umi hampir saja membunuhku.

Sejenak suasana kamarnya mendadak hening, Umi hanya tersenyum memandangku, seolah dia mengucapkan terimakasi kepadaku.

"Kamu hebat, mulai sekarang kamu harus jadi pemuas nafsu Umi, oh iya satu lagi, jangan perna mencoba untuk membanta perintah Umi." Kembali dia mengancamku, aku hanya mengangguk pasrah.

Umi turun dari tempat tidurnya, lalu dia membuka borgolku membuat kedua tanganku kembali bebas bergerak setelah satu jam lebi tak bisa kugerakan akibat belenggu borgol sialan itu.

"Sekarang kamu boleh keluar, tapi... jangan coba-coba mencuci mukamu sampai besok pagi."

"Iya Umi, terimakasih untuk malam ini." Kataku tak bersemangat, lalu aku berdiri, mengenakan kembali pakaianku satu lersatu, setelah itu aku pergi keluar kamarnya. Sekilas aku sempat melihat dirinya yang tampak begitu puas setelah mengerjaiku habis-habisan.

Umi kenapa kau tega melakukan ini semua kepadaku ? Apa kesalahanku begitu berat sehingga harus kubayar dengan harga diriku. Setelah gejadian malam ini, apakah aku masih layak untuk hidup ? Ah... Umi kenapa kau hancurkan masa depanku, anak kandungmu sendiri yang selama sembilan bulan berada di dalam rahimmu. Maafkan aku Tuhan, maafkan juga kesalahan Umiku.

Bersambung... *forever

Maafkan Mama - Apa Dosaku Umi? Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Evy Fredella

0 komentar:

Posting Komentar