Selasa, 18 Oktober 2016

Maafkan Mama - Sebuah Janji


Aku terbangun saat mendengar suara pintu kamarku tertutup, sekilas aku melihat Adam yang menutup pintu kamarku. Sepertinya dia baru pulang sekolah, kalu dari suara yang kudengar sepertinya dia tidak sendirian.

Rudi dan Bambang ? Itu pasti suara mereka, dasar Adam dia sengaja menutup pintu kamarku agar kedua temannya tidak bisa melihatku.

Kulirik jam dinding di kamarku, ternyata sudah jam dua siang, itu artinya aku tertidur hingga dua jam lamanya. Sepertinya aku sangat kecapean, tapi gak apalah, toh gara-gara tertidur mereka jadi dapat rejeki nomplok dariku hehe. Dasar aneh, seharusnya aku marah, bukan terangsang seperti ini.

Sepertinya aku harus menggoda mereka, untuk mewujudkan fantasiku, mumpung mereka sekarang ada dirumahku.

Segera aku bangun dari tempat tidurku, sedikit merapikan penampilanku didepan cermin, kuikat rambutku hingga leher mulusku terpampang jelas, semakin mempertegas.kecantikanku.

"Kamu memang nakal Lidya, gak kasian apa sama mereka ? Hhmm... tapi biarin deh, biar mereka cepat dewasanya." Duh membayangkannya saja sudah membuat vaginaku terasa basah.

Segera kubuka tanktop dan hotspanku, lalu kuganti dengan gaun tidurku yang tipis. Dibalik gaun ini, aku hanya mengenakan celana dalam jenis G-string, tentu hal itu kulakukan untuk menggoda mereka.

Oke persiapan sudah selesai, saatnya aku beraksi didepan mereka. Hmm, kok aku jadi deg-degkan kayak gini ya.

Perlahan kubuka pintu kamarku, ternyata disitu ada Rudi yang sedang duduk disofa, ia tampak sangat terkejut saat melihatku membuka pintu kamarku. Kubalas keterkejutannya dengan senyuman.

Setelah membuka pintu kamarku, aku kembali naik keatas tempat tidurku, tapi sebelum itu aku mengambil majalah untuk kujadikan alasan agar aku tidak terlihat begitu murahan dimata mereka.

Aku tidur terlentang sambil membaca majalah, posisi kaki kananku sengaja kutekuk, sementara kaki kiriku kubiarkan terjuntai.

Aku yakin saat ini dia pasti bisa melihat betis dan paha mulusku, dan untuk memastikannya, dari balik majalahku, aku melihat kearah Rudi yang sedang menatap nanar kearahku. Rudi, ngeliatnya jangan gitu banget bisa-bisa Tante orgasme duluan.

Sabar... sabar... ini belum seberapa kok, pertunjukannya baru saja dimulai.

Sekarang aku ingin dia melihat celana dalam g-string yang kukenakan, dengan sengaja kutekuk kaki kiriku yang tadinya terjuntai, hingga rokku turun sampai kepangkal pahaku, tentu gerakannya kubuat sepelan mungkin agar ia bisa menikmati pertunjukan yang kuberikan secara perlahan, lalu aku mulai menggoyang kedua kakiku, seperti orang yang sedang lagi asyiknya membaca buku.

Saat tiba digerakan membuka, aku sengaja menghentikan goyangan kakiku, kini aku yakin mata Rudi sangat leluasa memandangi pangkal pahaku hingga kecelana dalamku yang berwarna hitam.

Seerr... aliran hangat menjalar tubuhku, aku tau ini tandanya aku sudah amat terangsang, ingin rasanya aku membuka seluruh pakaianku hingga aku telanjang bulat didepannya, tapi untunglah sedikit kesadaran membuatku tidak senekat itu.

Kembali aku mengintip dari sisi majalahku, bermaksud ingin melihat reaksi wajah Rudi, tapi saat mataku melihat keluar ternyata di situ ada Bambang. Astaga semenjak kapan anak itu duduk disitu.

Bambang tersenyum kearahku, lalu memberiku kode kalau saat ini Rudi sedang menemani anakku bermain.

Pantesan kok orangnya berbeda, ternyata mereka sedang berganti posisi.

Gak ada Rudi, Bambangpun jadi...

Aku kembali melanjutkan aksiku, tapi kali ini aku berganti posisi tidurku, dari terlentang hingga tengkurap. Tadi kakiku yang menghadap kearah pintu, tapi kali ini wajahku yang mengarah kepintu.

Sebelum aku tengkurap, aku sengaja membuka beberapa kancing gaun tidurku hingga payudarahku seperti ingin melompat keluar.

Seneng ya bisa liat tetek Tante, tapi Tante juga senang kok kamu liatin hihihi, apa lagi liat muka mesum Bambang, duhh... rasanya pengen sekali minta dia buat.remesin tetekku.

Kembali sambil tidur tengkurap dengan di topang oleh kedua sikuku, agat posisi payidarahku menggantung, dengan begitu Bambang bisa sangat leluasa menikmati payudarahku. Kembali aku berpura-pura membaca majalah.

Sesekali aku melihat kearah Bambang yang tampaknya sudah sangat bernafsu terhadapku, bahkan Bambang sudah tidak malu-malu lagi meremas-remas penisnya dari balik celana birunya. Rasanya aku ingin tertawa sekaligus sangat terangsang melihat tingkah Marwan.

Sesekali aku membalik halaman demi halaman majalah, agar aku terlihat benar-benar sibuk membaca majalah, tapi sesekali aku menyempatkan diri untuk melihat kearah Bambang, tingkah Bambang benar-benar berhasil membuatku salah tingka.

Tak lama kemudian Rudi kembali bergabung, sekilas aku melihat mereka berbisik sambil melihat kearahku, aku pura-pura tidak tau kalau mereka sedang memperhatikanku. Lalu sedetik kemudian giliran Bambang yang menghilang.

Ternyata capek juha kalau posisi kek gini trus, aku kembali berganti posisi yang lebih nyaman, aku duduk bersandar menghadap kearah pintu kamarku, tak jauh dariku Rudi duduk menghadapku, tapi aku pura-pura cuek, walaupun sebenarnya aku deg degkan, apa lagi dengan cara Rudi menatapku, seperti ingin menelanjangiku.

Ternyata Rudi semakin berani didepanku, padahal dia tau kalau aku bisa melihatnya, tapi dia tetap nekat membuka celana birunya sekaligus celana dalamnya.

Tentu aku langsung protes, mataku melotot untuk menakutinya, tapi bukannya segera memasukan kembali burungnya, eh dia malah ngocok didepanku sambil nyengir kuda, dasar anak kurang ajar. Tapi sudalah, biarlah dia melepas hasratnya asal pejunya nanti gak sampe belepotan. Awas saja kalau sampe kena sofaku.

Sekarang apa yang harus kulakukan ? menghentikan aksiku ? Atau... Aaerttt... sudalah mending aku mandi saja, siapa tau air dingin bisa meredam nafsuku.

Ini semua gara-gara Rudi, dasar anak kurang ajar, seharusnya aku ngerjain dia, bukan dia yang mengerjain aku seperti ini. Mana Suamiku lagi diluar kota, terpaksa main sendiri lagi.

Segera aku membuang muka, memberi tau dia kalau aku tidak suka dengan caranya yang terlalu vulgar, lalu setelah itu aku turun dari tempat tidurku, kuambil handuk yang terlipat rapi di dalam lemari, lalu sambil berjalan santai membelakanginya aku masuk kedalam kamar mandi. Nanggung-naggung de lo, di kasi enak dia malah ngelunjak.

^_^

Selesai mandi, kulihat Rudi dan Bambang sedang duduk berdampingan di atas sofa, tapi kini Rudi sudah menyimpan kembali burungnya, kulihat mukanya pucat pasi, aku yakin dia merasa bersalah karena perbuatannya barusan. Siapa suruh dikasi enak malah kurang ajar, emang dia pikir aku wanita murahan apa.

Aku duduk didepan meja rias, seperti biasanya layaknya wanita pada umumnya, aku berias untuk mempercantik diriku, sementara itu tak jauh dibelakangku aku yakin mereka berdua pasti sedang melihatku.

"Umi, kok pintunya gak di tutup sih, kan malu dilihat mereka berdua ?" Adam mendekatiku dengan raut wajah merah padam, sepertinya dia marah.

"Ada apa sayang ? Kok dateng-dateng langsung sewot ? Sini duduk dulu." Kataku menenangkan anakku, Adam duduk ditepi tempat tidurku, wajahnya kulihat masih tertekuk.

"Coba cerita sama Umi." Tanyaku, sembari menggeser tempat dudukku, mengarah kearahnya.

"Kan Umi tau di luar ada mereka, tapi kok pintunya di biarin kebuka gitu."

"Jadi itu masalahnya, emangnya kenapa kalau mereka melihat sayang, Umi kan gak telanjang didepan mereka, Umi masih pake handuk kok, ni liat... " Kataku santai, sembari membusungkan dadaku, memperlihatkan lipatan handuk yang kugunakan.

Kulihat jakun anakku turun naik, sepertinya dia terangsang melihatku hanya mengenakan handuk. Dasar, tadi marah-marah sekarang malah diam.

"Ya sudah, kalau kamu gak suka, Umi pake baju dulu ya !"

"Bu... bukan gitu Umi, kok Umi marah si ?" Adam menahan tanganku saat aku hendak mengambil pakaian didalam lemari pakaian.

"Habis anak Umi sekarang sudah mulai ngatur-ngatur, ini gak boleh, itu gak boleh." Protesku, aku pura-pura marah kepadanya, padahal aku sebenarnya senang melihatnya tidak berdaya didepanku.

"Ya gaklah Mi, bukannya marah tapi gak enak sama mereka Umi."

"Ya sudah, kalau gitu biar Umi ngomong langsung sama mereka." Kataku, lalu aku beranjak hendak menemui mereka berdua.

"Tapi Umi... Umi tunggu !" Panggilnya, sambil mengejarku yang suda jalan lebi dulu.

Tapi Adam telat mencegaku, karena dalam hitungan detik aku sudah berdiri didepan kedua sahabat anakku, mereka berdua melongok melihatku menghampiri mereka.

"Hayo lagi pada liatin apa ?" Godaku, sembari memicingkan mataku, seperti sedang.mencurigai mereka.

"Hehehe... habis Tante ngagetin aja ni."

"Ngaggetin apa... "

"Umi." Potong Adam, kulihat ia tampak begitu khawatir kepadaku.

Anak mana yang tidak khawatir melihat Ibunya yang cantik berdiri didepan temannya yang mesum hanya mengenakan handuk, apa lagi di balik handuk ini, aku sudah tidak mengenakan pakaian apapun.

Perasaanku jadi campur aduk, antara malu, bersalah dan horni. Aku berdiri hanya mengenakan handuk dihadapan dua anak laki-laki yang sedang tanggung-tanggungnya, sementara disampingku ada putraku yang sedang mengkhawatirkanku.

"Kenapa sayang ? Ini Bunda baru tanya sama mereka." Kataku cuek, sembari membenarkan lilitan handuk yang menutupi tubuhku, tentu saja hal itu membuat kedua sahabat anakku semakin tercengang.

"Gak perlu Umi." Jawab anakku sewot.

"Emang mau tanya apa Tante ?" Ujar Bambang, sepertinya dia penasaran, sementara Rudi kulihat wajahnya pucat, sepertinya dia takut kalau aku nanti membahas perbuatan nekatnya.

"Kata Adam, kalian terganggu ya Tante pake handuk kayak gini didepan kalian ?" Tanyaku langsung tembak tanpa basa-basi lagi.

"Ya... gak dong Tan, malahan... " Tiba-tiba saja Rudi menyikut lengan Bambang, agar tidak melanjutkan perkataannya.

"Malahan apa ? suka ?" Duh... Lidya, kok kamu makin berani aja sih, gimana kalu mereka nantinya jawab iya, bisa-bisa anakmu nanti ngamuk. "Sudah jujur aja, gak papa kok !" Kataku sembari meminta mereka berdua untuk memberiku tempat agar bisa duduk.

Dengan cepat mereka berdua menyingkir, lalu dengan santainya aku duduk diantara mereka berdua. Kedua tanganku kuletakan diatas paha mereka sesekali aku meremas, memijit pelan paha mereka berdua.

Kulihat mereka berdua saling pandang, seolah tidak percaya dengan apa yang kulakukan terhadap mereka berdua. Sementara anakku tidak kalah kagetnya, dia berdiri melihatku dengan mulut terbuka.

"Iya Tante saya suka." Jawab Bambang.

"Terus kamu Rudi suka gak ?" Tanyaku kepada Rudi, karena kulihat dia hanya diam saja, mungkin dia masi trauma karena tadi.

"Su... su... "

"Susu maksud kamu ?"

"Bu... bukan Tante, maksudnya suka."

"Bilang suka aja susah banget si." Protesku. "Sekarang kamu denger sendirikan sayang, teman kamu suka kok, mereka sama sekali gak terganggu dengan penampilan Umi." Kataku kepada Adam.

"Tapi Umi."

"Biarin aka si Dam, Umi loh mau telanjang juga gak papa kok, kami sama sekali gak terganggu, sama kita mah santai Dam, ya gak Rudi ?" Yang ditanya malah ngangguk-ngangguk gak jelas.

"Kamu denger sendirikan ?" Sebelum Adam kembali mengajukan protesnya, aku buru-buru mengusirnya. "Ya sudah sana, kamu kewarung sebentar, beliin Umi martabak telor." Pintaku.

"Iya Umi."

Akhirnya Adam menyerah, dia berjalan meninggalkanku sendiri dengan wajah tertunduk lesu.

Sebenarnya inilah yang kuinginkan, aku ingin Adam mulai terbiasa melihat Uminya dilecehkan seperti yang kulakukan barusan, tapi tentu saja aku harus melakukannya dengan perlahan, kalau tidak semua rencanaku bisa berantakan.

Adam adalah anak kandungku, dan dia juga seorang anak laki-laki. Aku bisa saja langsung meberikan pertunjukan ekstream didepannya, dengan cara melakukam ML bersama kedua sahabatnya, tapi apakah ada jaminan kalau Adam bisa menerimanya dan diam saja ? Tentu saja tidak, dia akan sangat marah, bahkan bisa jadi dia nekat menghabisi kedua temannya. Dengan alasan itulah kenapa aku memberinya pertunjukan dengan cara perlahan agar dia terbiasa dan mulai menikmati setiap kali aku dilecehkan.

Setelah yakin Adam telah pergi, sekarang adalah saat yang tepat untuk memberi sedikit hadiah kepada mereka berdua.

"Sekarang kalian jawab dengan jujur pertanyaan Tante, tadi kalian ngintipin Tante ya ?"

"Enggak kok Tan." Jawab Rudi.

"La tadi kamu ngapain ngeluarin burung kamu sambil liatin Tante baca majalah ?" Tanyaku, lalu dengan sedikit nekat aku meletakan tangan kananku diatas selangkangan Rudi, tentu apa yang kulakukan membuat Rudi belingsatan.

"Tapi itukan bukan salah saya Tente, habis Tantenya juga yang duluan menggoda kita, iyakan Bang ?" Jawab Rudi meminta dukungan dari temannya.

"Iya Tante, kitakan cowok normal, liat cewek bening masak di anggurin. Seharusnya Tante bertanggung jawab sudah bikin kita kentang kayak gini."

"Kentang ? Emang kalian mau masak ?"

"Bukan kentang itu Tante, tapi kena tanggung, udah di bikin keras gini tapi gak ada penyelesaiannya." Jawab Rudi sewot, aku tau apa yang kulakukan barusan pasti sangat menyiksa mereka.

"Kalau gitu maafin Tante ya tadi sudah nyiksa kalian berdua, sini buka celananya ?" Tantangku, tapi mereka berdua balah bengong.

"Serius Tante."

"Iya serius dong Rudi, katanya radi Tante harus tanggung jawab." Kataku meyakinkan mereka berdua. "Tapi ada syaratnya."

"Apa Tante ?"

"Syaratnya gampang kok, kalian hanya perlu melakukan ini untuk Tante......" Jawabku.

^_^

Untuk pertama kalinya setelah menikah aku melihat kelamin pria lain selain Suamiku sendiri. Tentu kondisi ini membuatku gugup, apa lagi di depanku saat ini ada dua penis yang sudah siap tempur.

Sesuai janjiku, kalau mereka setuju melakukan sesuatu untukku, maka aku akan membantu mereka menuntaskan birahi muda mereka.

Aku tiduran diatas tempat tidur dengan pakaian lengkap sehari-hari, yaitu mengenakan kerudung dan jubah hitam, sementara mereka berdiri disamping tempat tidurku sambil memperhatikanku.

Mula-mula aku menarik bagian bawah gaunku yang panjangnya hingga dibawa mata kaki. Kutarik dengan perlahan hingga betisku terlihat, mempertontonkan kaki jenjangku yang selama ini kurawat dengan baik, sehingga tak ada bekas lecet.

"Kok betisnya bisa seputih itu Umi." Aku memang meminta mereka untuk memanggilku Umi untuk saat ini saja.

"Iya dong sayang, kan selalu Umi rawat."

"Kami boleh menciumnya gak Umi, biar betisnya makin kinclong hehe !" Pinta Bambang, sambil mengocok penisnya yang sedari tadi sudah sangat tegang.

"Boleh dong sayang, tapi jilatinnya yang bersih ya."

"Beres Umi... " Jawab mereka serempak.

Lalu Bambang dan Rudi mengambil salah satu kakiku, dan tanpa ada rasa jijik mereka mulai menjilati kedua kakiku, di mulai dari jari-jari Kakiku. Ternyata aku baru tau, kalau jilatan di jari-jari kakiku bisa membuatku terangsang seperti ini.

"Anak pintar, jilatin yang bersih... "

"Jempol Umi enak banget, hmmpp... hmmmp... " Puji Rudi sambil mengulum jari jempolku.

Sementara Bambang lebih sering menjilati betisku, sepertinya Bambang memang lebih suka betisku ketimbang jari-jari kakiku. Sambil menikmati jilatan mereka, aku berusaha mati-matian mempertahankan bagian bawah gamisku agar tidak tersingkap lebih jauh, apa lagi Bambang dari awal berusaha membuka lebar kakiku agar bisa melihat dalamanku.

Tapi sesuai dengan kesepakatan, mereka berdua hanya boleh menyentuh bagian bawah kakiku kecuali mereka berhasil membuatku lupa diri, tentu itu tak muda bagi mereka berdua.

"Umi... buka sedikit ya ?" Bujuk Bambang, dia mulai berani memijit pahaku.

"Betis Umi rasanya enak banget loh, apa lagi bagian yang disana passti lebi enak lagi." Kini giliran Rudi yang ngegombal.

Serangan demi serangan, akhirnya membuat pertahananku mulai goyah. Tanpa sadar kedua kakiku terbuka semakin lebar, dan bagian bawah gamisku terangkat semakin tinggi.

Tentu saja kesempatan itu tidak disia-siakan mereka berdua. Dengan gerakan cepat, merek berpindah menjilati bagian dalam lututku, hal itu membuatku kegelian hingga tak sadar aku mulai lepas kendali.

"Aahkk... geliii jangan disitu, Umi mohooon !" Kataku mohon ampun, tapi mereka berdua sama sekali tidak perduli.

"Siapa suruh tadi nantangin kita, sekarang nikmatin aja ya Umi !" Ujar Rudi sombong.

Tapi harus kuakui mereka berdua memang sangat pandai dalam merangsangku, sepertinya mereka sudah biasa merangsang perempuan. Sial, aku bisa kalah oleh dua orang anak remaja.

"Aaahkk... cukupp, amppuunnn oooww... !" Aku semakin belingsatan saat Bambang bergerak menjilati pahaku, apa.lagi Bambang dengan beraninya meremas-remas dadaku. Siaaal...

"Hehehe... ini belom seberapa Umi."

Rudi bangkit, lalu duduk disamping kepalaku sambil menyodorkan penisnya didepan wajahku. Memang sesuai kesepakatan kalau mereka berhasil menaklukanku, maka aku bersedia membantu mereka dengan mengulum penis mereka sampe mereka puas.

"Buka dong Umi mulutnya."

"Oke Umi nyerah, tapi ingat ya janjinya gak ada yang namanya penetrasi."

"Tenang Umi, kami pasti menepati janji kami, kecuali Umi sendiri yang minta hehe." Kepedean, mungkin itu kalimat yang cocok untuk Bambang, walaupun aku sangat menginginkannya, tapi aku tidak akan melakukannya, karena tujuan awalku bukan ini.

Aku tak ingin menanggapi ocehan Bambang, segera kulumat habis penis Rudi, kuhisap cukup kuat sehingga Rudi meringis keenakan.

Walaupun aku sudah lama tidak mengoral penis, bukan berarti aku tidak bisa. Dulu, Mama perna mengajarkanku bagaimana cara memuaskan kaum adam hanya dengan mengulumnya saja.

"Pelan... pelan Umi ! Aahhkk... ngilu Umi." Rengek Rudi, tapi aku tidak perduli.

Sesekali aku jilati lobang kencingnya yang terasa asin, sementara tanganku memijit pelan kantung pelirnya agar Rudi cepat orgasme.

Dan benar saja, kurasakan tubuh Rudi menegang, suaranya yang keras mulai terdengar parau, itu artinya sebentar lagi aku berhasil menaklukannya. Sementara itu, Bambang berusaha keras merangsangku dengan menjilati paha bagian dalamku, bahkan terkadang jilatannya menyentuh pinggiran celana dalamku.

Sesuai dengan perjanjian, aku melarang mereka berdua menjilati vaginaku walaupun dari balik celana dalam yang kukenakan, kalau mereka melanggar, maka perjanjian batal dan tentu mereka juga yang akan rugi.

"Umiiii aku keluarrr !" Pekik Rudi, lalu kurasakan semburan hangat spermanya didalam mulutku. Kata orang sperma anak remaja bisa buat kita awet muda, dengan alasan itu aku menelan habis spermanya.

"Cepet banget loh, gue belom puas loh uda ngencrot aja." Protes Bambang, dia tampak kesal.

"Ampun bos, gue nyerah !" Jawab Rudi, terduduk lesu bersender ditembok kamarku.

"Sesuai perjanjian, sekarang giliran kamu." Kataku memanggil Bambang, jujur aku hampir menyerah, tapi untunglah Rudi sudah bisa kuatasi dengan cepat.

Dengan malas-malasan, Bambang mendekatiku sambil menyodorkan penisnya kearahku. Dengan perlahan kukocok penisnya, lalu aku mulai menjilati batang kemaluannya, sementara tanganku yang satunya kugunakan untuk memijit pelan kantung pelirnya.

Perlahan, kubuka mulutku, lalu kusambut penis Bambang dengan lidaku.

"Gilaaaa... enak banget Rud." Ocehan Bambang setelah merasakan oralku.

"Kan tadi gue uda bilang, tapi lohnya gak percaya." Jawab Rudi yang saat ini sedang menonton aku yang lagi mengulum penis Bambang.

"Hhhehhhe... Henaknyan ?" Kataku.

"Gila ini enak banget Umi, Aahkk... "

Aku semakin mempercepar gerakan kepalaku maju mundur, sambil menghisap penisnya. Tak lama kemudian, untuk kedua kalinya aku mendapat hadiah sperma dari mereka berdua.

Maafkan Mama - Sebuah Janji Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Evy Fredella

0 komentar:

Posting Komentar